“Rakyat tidak hanya memilih,” katanya, “tetapi juga dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan. Dari rapat CPPCC di tingkat pusat, forum masyarakat, hingga diskusi daring di tingkat desa.”
Ia mencontohkan praktik di kota Wenling, Zhejiang, yang dikenal dengan “konferensi demokrasi.” Warga duduk bersama pejabat lokal untuk membahas anggaran publik. Itu adalah bentuk demokrasi yang tidak konfrontatif. Yang dicari adalah kesepakatan. Bukan menang-kalah.
Memang, demokrasi versi Tiongkok bukan berarti tanpa kritik. Dan demokrasi itu tentu masih bisa berkembang. Tapi, Tiongkok tak ingin dinilai dari ukuran orang lain.
Han menekankan, demokrasi Tiongkok berakar pada sejarah dan budaya sendiri. Dan terus disesuaikan dengan tahap pembangunan ekonomi dan sosial. “Demokrasi yang sejati adalah yang membawa manfaat nyata bagi rakyat,’’ kata Han.
Tentu, kuliah itu memunculkan diskusi panjang di kalangan para jurnalis yang hadir. Banyak yang sepakat bahwa menarik bagaimana Tiongkok memaknai demokrasi dengan caranya sendiri. Bagaimana rakyat Tiongkok memang ingin bersatu sejak dulu, sampai membangun tembok maharaksasa yang kami saksikan pagi ini, Jumat, 10 Oktober 2025…(*/bersambung)