Kontras dengan gaya Menlu Retno Marsudi tahun lalu. Menlu Retno bicara singkat, padat, dan terfokus, dari Palestina, reformasi multilateral, hingga kerja sama Selatan-Selatan.
Tidak perlu adanya api retorika, substansinya sudah cukup kuat. Prabowo memilih jalan berbeda: penuh simbol, improvisasi, dan elemen realpolitik yang kuat.
Pertanyaannya cukup sederhana, pidato itu untuk siapa? Dunia atau rakyat Indonesia? Bagi dunia, Prabowo ingin tampil moderat, siap bicara damai, siap jadi pemain global. Bagi rakyat Indonesia, pidato itu bisa dibilang sebagai bukti bahwa ”Indonesia kembali disegani”.
Namun bagi yang jeli membaca, pidato itu justru menandai ujung tapal batas politik bebas aktif. Sebuah politik luar negeri yang berprinsip, kini rawan kehilangan arah karena terjebak dalam ambiguitas.
MENGEMBALIKAN POLITIK BEBAS AKTIF KE JALANNYA
Politik bebas aktif sejatinya didirikan atas sebuah misi historis: Indonesia berkomitmen dalam mewujudkan dunia yang lebih baik dengan prinsip yang jelas. Yakni, kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan segala bentuk penjajahan atau okupasi harus dihapuskan tanpa pengecualian.
Dalam perjalanannya, Indonesia telah berkomitmen terhadap terbentuknya tatanan multilateralisme yang lebih baik, yakni tatanan yang didasarkan atas aturan yang jelas atau rule-based order.
Pidato itu sejatinya menjadi sebuah momentum bahwa Indonesia siap untuk kembali ke panggung internasional sebagai mitra tepercaya sekaligus mengembalikan marwahnya sebagai aktor yang berpengaruh.
Dan, apabila tujuan tersebut ingin dipenuhi, Indonesia juga perlu tujuan jelas: reformasi tatanan multilateralisme, komitmen terhadap kemitraan Selatan-Selatan, hingga dukungan terhadap kemerdekaan Palestina dan akhir terhadap impunitas Israel.
Namun, tiga hal tersebut mustahil dipenuhi tanpa adanya strategi yang jelas. Indonesia telah lama dikenal sebagai pemimpin normatif di kawasan ASEAN dan Indo-Pasifik.
Nilai-nilai yang ada dalam politik bebas aktif seperti otonomi strategis, emphasis pada multilateralisme, hingga diplomasi alih-alih konfrontasi menjadi sejumlah nilai yang dapat menjadi penerang di tengah iklim politik internasional.
Dalam hal ini, para diplomatlah yang bertugas di garis depan diplomasi dan menyampaikan apa yang menjadi misi Indonesia. Dengan begitu, Indonesia dapat menjadi penerang sesungguhnya, yang menyalakan lilin di tengah kegelapan. (*)
*) Muhammad Farhan Pratomo adalah Research Fellow Center for National Defense and Security Studies (CNDSS) dan asisten peneliti Centre for Global and Strategic Studies (CSGS).
*) Mochammad Arif adalah Research Fellow Center for National Defense and Security Studies (CNDSS).