Ujung Tapal Batas Politik Bebas Aktif

Senin 13-10-2025,05:33 WIB
Oleh: M. Farhan P. & M. Arif*

BACA JUGA:Healing Prabowo

BACA JUGA:Menempa Pemimpin Indonesia di Panggung Global

Prabowo ingin tampil sebagai juru damai dengan resep ”two state solution”, tetapi dengan pendekatan yang berbeda dan inkonvensional untuk negara sejenis Indonesia. 

Apakah Indonesia siap mengubah haluan puluhan tahun kebijakan luar negerinya? Siapkah kita menanggung risiko diplomatik dengan dunia Arab, OKI, atau bahkan kalangan muslim dalam negeri? Atau, itu sekadar retorika agar terlihat moderat di mata Barat, khususnya Washington dan Paris?

Ucapan itu tidak berhenti di ruang retorika. Pernyataan Prabowo soal Israel-Palestina segera memicu perdebatan luas, bahkan menjadi tajuk media internasional. 

Tak butuh waktu lama, Kementerian Luar Negeri RI pun mengeluarkan klarifikasi bahwa posisi Indonesia tidak berubah: mendukung penuh kemerdekaan Palestina dan tidak ada rencana membuka hubungan diplomatik dengan Israel. 

Fakta bahwa Kemenlu perlu turun tangan memperlihatkan betapa sensitifnya isu itu, sekaligus menyingkap jarak antara retorika presiden dan garis diplomasi resmi.

Kontroversi makin besar ketika beredar foto billboard di Israel yang menampilkan wajah Prabowo berdampingan dengan Donald Trump, Netanyahu, dan sejumlah pemimpin Arab dalam kampanye yang bertajuk ”Abraham Shield”. 

Terlepas dari benar atau tidaknya foto tersebut, banyak pihak yang menilai visual itu merupakan bagian dari kampanye publik yang berusaha mencatut citra presiden RI demi kepentingan narasi politik tertentu, bukan representasi atau sikap resmi. 

Kementerian Luar Negeri pun kembali menegaskan bahwa Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel dan posisi Indonesia tetap konsisten: tidak ada normalisasi kecuali Israel mengakui kemerdekaan Palestina.

Situasi sendiri sempat mencapai titik terang pasca-Amerika Serikat mendorong apa yang disebut ”21 Poin Peta Jalan Perdamaian untuk Kawasan” yang berisi rencana untuk mengakhiri perang di Gaza dan rekonstruksi Gaza pascaperang. 

Namun, Netanyahu sendiri telah menegaskan bahwa ia menolak mentah-mentah gagasan solusi dua negara yang telah menjadi inti dari banyak upaya perdamaian internasional. Dengan demikian, hal itu seolah berkontradiksi dengan realitas di lapangan: Israel menolak berdirinya suatu negara Palestina merdeka.

Di titik itu, politik bebas aktif tampaknya terjebak dalam sebuah dilema. Bebas, tapi berada dalam persimpangan arah. Aktif, tapi tujuan akhirnya masih dipertanyakan. 

Untuk dunia internasional, Indonesia bisa terlihat ramah di semua pihak. Namun, untuk publik dalam negeri, kata-kata itu rawan ditangkap sebagai bentuk ketidaksetiaan pada prinsip historis. 

Tak berhenti di situ, Prabowo juga berjanji Indonesia mengirimkan 20.000 personel perdamaian ke Gaza, Ukraina, Sudan, dan Libya. Angka tersebut terbilang fantastis. Mengingat, target resmi Indonesia sendiri saat ini ”hanya” 4.000 personel militer. 

Hitungan biaya, logistik, hingga koordinasi dengan PBB dan aktor negara jelas jadi tanda tanya. 

Kategori :