Otak Anggota DPR dalam Perspektif Neuropolitik

Rabu 15-10-2025,14:47 WIB
Oleh: Ali Sahab *)

Sesuai hasil  riset Antoine Bechara, Hanna Damasio, dan Antonio R Damasio (2000) menegaskan bahwa pengambilan keputusan tidak hanya dimediasi oleh korteks orbitofrontal (rasional), tetapi muncul dari sistem yang lebih besar meliputi amigdala, insula, dan sistem saraf perifer. Hal ini sejalan dengan temuan Drew Westen dalam The Political Brain (2007), yang menyatakan bahwa politik modern lebih banyak digerakkan oleh narasi emosional ketimbang argumen rasional. 

Artinya, framing media dan intensitas kritik publik membentuk pengalaman emosional yang sangat kuat. 

Neuropolitik dan Legitimasi Politik

Kontribusi neuropolitik dalam membaca kasus DPR sangatlah konkret. Pertama, menjelaskan bahwa legitimasi politik bukan sekadar persoalan hukum dan prosedural, melainkan juga persoalan resonansi emosional antara wakil rakyat dan publik. 

Kedua, neuropolitik memberi pemahaman mengapa ucapan atau kebijakan yang menyinggung perasaan rakyat sering kali lebih merusak dibandingkan pelanggaran administratif. Otak manusia dirancang untuk lebih kuat merespons ancaman emosional ketimbang informasi rasional. Dalam kerangka ini, ucapan kasar Sahroni lebih berbahaya daripada sekadar “kesalahan komunikasi”, karena ia menancap langsung dalam sistem emosional public, termasuk dengan joget anggota DPR RI setelah pembahasan tunjangan. 

Ketiga, neuropolitik juga membantu kita memahami strategi bertahan DPR. Saat menghadapi isu tunjangan rumah, DPR merespons dengan cara meredam isu dengan klarifikasi pemberian tunjangan kontrakan rumah hanya diberikan satu tahun bukan lima tahun—sebuah langkah yang bisa dibaca sebagai upaya meminimalkan rasa sakit sosial yang dialami akibat kritik publik.

Apa yang bisa kita pelajari dari dua kasus ini? Ada beberapa hal penting. Pertama, DPR harus menyadari bahwa setiap ucapan dan kebijakan memiliki dampak neurologis pada publik. Kata-kata kasar tidak hanya melukai secara retoris, tetapi juga menancap dalam memori emosional kolektif rakyat. 

Kerusakan kepercayaan publik yang ditimbulkan sulit dipulihkan, bahkan dengan klarifikasi dan kampanye positif sekalipun. Kedua, publik juga bisa memahami bahwa protes sosial adalah alat yang efektif. Protes yang konsisten dan disuarakan secara luas akan menciptakan tekanan neurologis yang nyata bagi legislator, membuat mereka lebih mungkin mengubah keputusan. Ketiga, dalam konteks komunikasi politik, neuropolitik mengajarkan bahwa strategi yang hanya mengandalkan logika, data, atau angka anggaran tidak akan cukup. 

Komunikasi politik yang efektif adalah yang membangun empati, keadilan, dan keterhubungan emosional dengan rakyat. Jika DPR ingin memulihkan kepercayaan, mereka harus mengelola bukan hanya narasi hukum dan teknis anggaran, tetapi juga emosional trust yang lebih dalam. Misalnya, dengan menunjukkan empati terhadap kondisi rakyat, transparansi dalam penggunaan anggaran, dan kepekaan terhadap kritik publik.

Politik di Era Digital

Kita juga harus mencatat bahwa neuropolitik semakin relevan di era digital. Media sosial mempercepat sirkulasi stimulus emosional. Satu pernyataan kasar atau satu isu kontroversial bisa menyebar luas dalam hitungan menit. Walaupun pemerintah melarang media massa untuk memberitakan. Hal ini memperbesar kemungkinan resonansi amygdala massal di masyarakat, menghasilkan gelombang protes yang masif. Bagi anggota DPR, kesalahan komunikasi sekecil apapun bisa segera menjadi krisis legitimasi. 

Pengelolaan emosi dan kesadaran akan dampak neurologis dari ucapan publik menjadi semakin krusial. Neuropolitik membuka ruang baru untuk memahami politik Indonesia, termasuk perilaku DPR. Kasus tunjangan rumah dan ucapan “tolol” bukan sekadar anekdot politik, melainkan contoh nyata bagaimana otak, emosi, dan identitas membentuk arah kebijakan. Dalam era keterbukaan informasi dan demokrasi digital, setiap stimulus politik bisa langsung memicu reaksi emosional kolektif. Jika DPR ingin menjaga legitimasi, mereka harus sadar bahwa politik tidak hanya soal logika, melainkan juga biologi otak manusia. (*)

*) Dosen Ilmu Politik, FISIP, Universitas Airlangga

 

Kategori :