Otak Anggota DPR dalam Perspektif Neuropolitik

Otak Anggota DPR dalam Perspektif Neuropolitik

Rapat anggota DPR RI.-Parlemen-


--

Publik kembali dibuat gemas oleh tingkah polah anggota dewan. Dulu Gus Dur pernah menyebut anggota DPR seperti Taman Kanak-Kanak (TK). Sekarang anggota DPR bak selebgram dan seleb tiktok yang suka flexing. Pemberian tunjangan kontrakan rumah anggota DPR RI Rp50 juta/bulan selama 1 tahun dan pernyataan kontroversial Ahmad Sahroni dari Partai NasDem menyebut masyarakat “tolol” ketika menanggapi kritikan pembubaran DPR

Dua peristiwa ini membuat masyarakat gerah dan emosi. Kesenjangan cukup lebar antara kehidupan anggota DPR dan masyarakat pada umumnya terutama kelas menengah ke bawah. Apa yang dilakukan DPR semakin cepat menyebar ke masyarakat melalui media sosial terutama Tiktok. Di era kontemporer ini pemantik gerakan protes bisa melalui media sosial. Gerakan protes masyarakat pada bulan angustus 2025 kemarin bisa dipotret melalui kacamata Neuropolitik

Neuropolitik merupakan kajian interdisipliner antara ilmu politik dan neurosains. Sikap dan orientasi politik baik masyarakat maupun anggota DPR dipengaruhi oleh faktor biologis di awal dalam hal ini emosi sebagai hasil stimulus politik yang masuk di otak. Neuropolitik memotret dari sudut pandang berbeda, perilaku politik sebagai refleksi dari interaksi kognisi dan emosi dalam otak manusia (Schreiber, 2017).  

Neuropolitik muncul sebagai respon terhadap keterbatasan teori-teori perilaku politik klasik seperti Pendekatan Sosiologis (Mazab Columbia), Pendekatan Psikologis (Mazab Michigan) dan pilihan rasional yang belum mampu menjelaskan dimensi bawah sadar dan biologis dalam perilaku memilih, lalu berkembanglah pada konteks perilaku politik secara luas. Dalam konteks ini, neuroplitik berangkat dari pemahaman bahwa manusia tidak sepenuhnya rasional dalam pengambilan keputusan politik. 

BACA JUGA:DPR Minta KKP Cepat Tanggap Tangani Dugaan Paparan Radiasi Cesium-137 di Cikande

BACA JUGA:Protes Gubernur soal TKD Dinilai Terlambat, Komisi II DPR: Seharusnya Sebelum UU APBN Ditetapkan

Penelitian di bidang psikologi dan neurosains menunjukkan bahwa emosi, intuisi, dan respon fisiologis seringkali mendahului pertimbangan rasional (Westen, 2007). Dengan demikian perilaku politik tidak bisa hanya dipahami melalui survei sikap atau analisis rasionalitas. Tetapi juga melalui cara otak merespon informasi politik. 

Politik yang Digerakkan Emosi

Dalam perspektif neuropolitik, pengambilan keputusan politik tidak semata hasil kalkulasi logis. Penelitian dalam ilmu saraf menunjukkan bahwa amygdala—pusat pengolah emosi seperti takut, marah, dan malu sering kali lebih cepat bekerja daripada prefrontal cortex yang bertugas mengendalikan logika, etika, dan pertimbangan jangka panjang (Westen, 2007). 

Inilah yang terlihat pada kasus DPR. Ketika publik memprotes keras wacana tunjangan rumah, anggota DPR tidak hanya menghadapi kalkulasi politik (apakah isu ini merugikan elektoral atau tidak), tetapi juga tekanan emosional yang nyata. Rasa malu, ancaman kehilangan legitimasi, dan konflik antara kepentingan pribadi dengan kepentingan publik tercermin dalam aktivasi anterior cingulate cortex (ACC) yang berfungsi mengelola dilema sosial atas kebijakan yang telah diputuskan. 

BACA JUGA:Keselamatan Jadi Prioritas, DPRD Jatim Kawal Investigasi dan Evaluasi Tambang Magetan

BACA JUGA:Masyarakat Prigen Tolak Pembangunan Real Estate, DPRD Kabupaten Pasuruan Bakal Bentuk Pansus

Seharusnya para anggota DPR RI bisa melihat kondisi masyarakat yang berjuang menghadapi ekonomi Indonesia yang tertatih. Sangat kontras antara kehidupan anggota dewan dengan yang dialami masyarakat. Anggota dewan yang bergelimang gaji dan tunjangan tidak begitu dengan masyarakat. Di tengah ekonomi lesu banyak PHK terjadi, harga sembako merangkak naik, setiap aktivitas dikenai pajak. Masyarakat harus mengencangkan ikat pinggang namun tidak bagi anggota dewan yang terhormat.

Arogansi anggota dewan menambah emosi rakyat. Pernyataan Ahmad Sahroni yang mengucapkan  “tolol”  ditujukan kepada pengkritik pembubaran lembaga dewan sebagai bentuk reaksi impulsif yang lahir ketika amygdala (emosi marah) mengambil alih kontrol, sementara prefrontal cortex gagal melakukan pengendalian diri. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: