Perusahaan ini sempat menghadapi ujian besar ketika berseteru dengan raksasa multinasional Danone. Perselisihan soal kepemilikan merek dan distribusi memanas hingga bertahun-tahun.
Namun, alih-alih melemah, Wahaha justru mencatat lonjakan penjualan. Di tengah tekanan global, semangat nasionalisme karyawan menjadi bahan bakar utama. Mereka bekerja lebih keras untuk mempertahankan identitas perusahaan lokal Tiongkok yang mandiri.
Kini, Wahaha menjadi simbol industri minuman yang tangguh. Pada 2010, Zhong bahkan menjadi orang terkaya di Tiongkok versi majalah Forbes.
Dalam kunjungan ke pabriknya di Hangzhou, kesan modernisasi langsung terasa. ’’Pabriknya bersih sekali!” seru Dahlan Iskan, founder Harian Disway.
Proses produksi berlangsung otomatis dan presisi tinggi. Tutup botol bisa diproduksi hingga 20 buah per detik. Sementara lini pengisian air kemasan menghasilkan 15 botol per detik.
Lantai pabrik bersih mengilap. Setiap proses diawasi sistem digital dan kecerdasan buatan. Efisiensi menjadi budaya kerja yang dijaga ketat.
Lebih dari sekadar merek minuman, Wahaha menjadi representasi semangat kerja keras khas Tiongkok. Lahir kebutuhan sederhana, tumbuh melalui inovasi, dan bertahan berkat loyalitas karyawan.
Itulah yang menjadi tema sharing Dahlan Iskan bersama peserta Business Adventure. ’’Ada ribuan perusahaan yang seperti Wahaha. Awalnya kecil, milik pemerintah, lalu diserahkan ke swasta,’’ ujar Dahlan yang sudah melawat ke Beijing pada 1986.
Saat itu, Tiongkok masih belum maju seperti sekarang. Rakyat masih miskin. Toko-toko seperti ogah hidup. ’’Rak roti mungkin hanya terisi sepertiga. Itu pun hanya satu jenis,’’ katanya.
Tapi, Tiongkok memang mau maju. Negara mendukung. Diaspora tak segan menggendong. Dari pantai timur, kemajuan Tiongkok terus berkembang ke barat. Itu pun disokong kebijakan pemerintah. Semua daerah harus maju. Mulai kawasan pantai di timur yang lebih dulu ’’hidup’’ sampai ke wilayah barat yang banyak didominasi pegunungan.
Lalu, apakah Indonesia juga bisa maju? ’’Secara logika tidak mungkin. Optimistis saja tidak cukup. Harus ada perubahan besar,’’ kata Dahlan.
BACA JUGA:Disway Business Adventures Shanghai-Hangzhou (2): Robot Anjing sampai Anjing Jack Ma
BACA JUGA:Disway Business Adventures Shanghai-Hangzhou (1): Bonding di Hangzhou
Apalagi, Indonesia masih nyangkut di middle-income trap. Jebakan kelas menengah. Produk kehilangan daya saing karena upah terus naik, produktivitas rendah karena kalah bersaing dengan yang lebih maju, pertumbuhan ekonomi stagnan, dan terus bertambahnya lapangan kerja sektor informal karena sektor formal sulit menciptakan lapangan pekerjaan.
’’Apalagi, pendapatan per kapita kita 4.500 dolar. Harus jadi 12,5 ribu dolar,’’ kata Dahlan.
Peserta mendengarkan dengan antusias. Muryati bertanya soal dukungan pemerintah kepada dunia bisnis. Baik di Tiongkok dan kaitannya dengan Indonesia. ’’Pengusaha kecil harus didukung, tapi perusahaan besar jangan diganggu,’’ jawab Dahlan. (*)