Hujan Tidak Bersalah, Hutanlah Yang Kehilangan Tanah

Hujan Tidak Bersalah, Hutanlah Yang Kehilangan Tanah

ILUSTRASI Hujan Tidak Bersalah, Hutanlah Yang Kehilangan Tanah.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

SEBAGAI seseorang yang lahir dan besar di Sumatera Selatan, penulis tidak pernah lupa rasanya perjalanan darat naik angkutan umum pada masa SMP sampai SMA dengan ditemani kabut asap sebagai langganan. Selain itu, diiringi oleh jalan berlubang yang mengoyak kesabaran dan pembakaran lahan yang seperti menjadi ritual bulanan.

Saat ini Sumatera tengah berduka. Kurang lebih 52 kabupaten di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat dilanda banjir bandang dan longsor. Data BNPB sampai 7 Desember 2025 mencatat lebih dari 916 orang meninggal, 274 orang dilaporkan masih hilang, dan lebih dari 576.000 warga mengungsi. 

Bencana itu juga mengakibatkan lebih dari 3,3 juta warga terdampak dan 2.600 orang luka-luka. Ribuan rumah dan infrastruktur ikut hancur. Angka korban terus bertambah karena medan evakuasi yang sulit dan beberapa akses terputus. 

BACA JUGA:Dua Bibit Siklon Terdeteksi di Selatan Indonesia, Waspada Hujan dan Gelombang Tinggi, Ini Kata BMKG

BACA JUGA:Kenapa Alergi Debu Lebih Gampang Kambuh Saat Musim Hujan? Ini 6 Penyebab Utamanya

Banyak desa yang tenggelam dalam lumpur dan reruntuhan tanah. Di beberapa tempat, ditemukan banyak tumpukan balok kayu yang terbawa arus banjir dan longsor. 

Intensitas hujan yang sangat tinggi mengguyur Sumatera sejak pertengahan November. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika menyatakan bahwa banjir dan longsor kali ini dipicu Siklon Senyar, yaitu sebuah fenomena cuaca langka berupa sistem tekanan rendah skala besar dengan karakteristik tropis. 

Angin kencang dan suplai uap air yang sangat besar dari laut hangat di Selat Malaka meningkatkan akumulasi awan konvektif. Hal tersebut mengakibatkan hujan ekstrem turun di wilayah pesisir Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan meluas hingga Malaysia dan Thailand Selatan.

BACA JUGA:Viral Video Bahlil Singgung soal Negara Maju Babat Hutan, Tuai Hujan Kritik dari Netizen

BACA JUGA:Air Hujan Surabaya Tercemar Mikroplastik, Eri Minta Warga Berhenti Bakar Sampah

BAHASA DALAM NARASI BENCANA

Narasi pemerintah bergerak lebih cepat daripada evakuasi. Dalam sejumlah pernyataan pejabat, kita membaca sesuatu yang jauh berbeda dengan kenyataan di lapangan. Ada yang menyalahkan hujan sebagai penyebab utama, dan ada yang mengatakan bahwa kayu-kayu yang hanyut terbawa arus adalah tumbang alami. 

Sementara itu, ada yang menyatakan bahwa pemberitaan tentang bencana di medsos terlalu mencekam. Menurutnya, kenyataan di lokasi tidak seperti yang tampak di medsos. Saat Presiden Prabowo mengunjungi Kutacane, Aceh, pada H+7 bencana, ia mengatakan bahwa status darurat daerah sudah cukup untuk menangani bencana banjir dan longsor.

Menurut Van Dijk, tokoh linguistik analisis wacana kritis, bahasa tidak pernah netral. Bahasa dapat dijadikan alat untuk mempertahankan kekuasaan. Kekuasaan itu bekerja melalui kontrol naratif pejabat yang seolah-olah dapat menentukan pelaku, penyebab, dan siapa yang disalahkan dari suatu kejadian. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: