Pertama, kita harus bersikap adaptif dalam menggunakan seluruh sumber daya komunikasi kita dengan tepat dan strategis sesuai dengan konteks di mana kita berada.
Misalnya, jika kita berada di institusi seperti sekolah formal, sebagai pengguna multibahasa, kita harus bisa beradaptasi dengan menggunakan sumber daya komunikasi yang sesuai, yaitu bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional kita.
Contoh lainnya, jika kita berada pada acara internasional yang diikuti peserta dari berbagai bangsa, secara alami kita akan menggunakan sumber daya komunikasi yang dikuasai kebanyakan peserta seperti bahasa Inggris atau bahasa Mandarin.
Kedua, yakinkan pengguna multibahasa bahwa mereka dapat menggunakan apa pun bentuk sumber daya komunikasi yang mereka miliki secara efektif tanpa ketakutan dan keraguan.
Dalam praktiknya, kita sering merasa ”dibatasi” aturan-aturan untuk mengontrol dan menekan cara kita berkomunikasi. Sebagai contoh, mantan Presiden SBY pernah ”dihujat” media karena dianggap terlalu banyak menggunakan kosakata bahasa Inggris.
Mantan Presiden Jokowi juga pernah disindir lantaran gaya berbicara beliau dalam bahasa Inggris dianggap terlalu lokal. Siapa yang menentukan standar bahasa yang dijadikan tolok ukur bagus tidaknya kita berkomunikasi?
Jangan karena kita terlalu menuntut penggunaan bahasa yang baku dan standar sehingga secara tidak langsung mengintimidasi mereka yang memiliki cara komunikasi yang berbeda.
Nyatanya, dalam keseharian kita, komunikasi berjalan dengan cair dan dinamis yang merupakan hasil pembauran dari berbagai sumber komunikasi yang multilingual, multimodal, dan multisemotik.
Solusi ketiga adalah menolak segala macam bentuk pemaksaan ideologi monolingual yang memandang pengguna multibahasa sebagai sasaran perbandingan tidak ideal tentang kemampuan bahasa yang sempurna.
Istilah- istilah seperti ”penutur asli”, ”bahasa standar dan baku”, ”hierarki bahasa”, ”status bahasa”, dan lain sebagainya yang cenderung meninggikan satu bahasa tertentu dan memarginalkan bahasa lainnya dapat menghambat perkembangan kekayaan multibahasa yang dimiliki masyarakat kita sejak dulu.
Misalnya, bahasa daerah yang sering dianggap kurang memiliki ”value” yang tinggi dapat memengaruhi jumlah pengguna bahasa tersebut sehingga lama-kelamaan bahasa tersebut tidak lagi dipakai dan punah.
Solusi terakhir adalah ajakan untuk memperluas ruang sosial di mana praktik translanguaging dapat dilakukan. Praktik itu memberikan nuansa positif dan empowerment yang menyemangati masyarakat pengguna multibahasa dalam memahami segala sesuatu dengan cara mengomunikasikannya secara alami, dinamis, cair, tanpa terikat stigma apa pun.
Dengan diterimanya praktik translanguaging sebagai sesuatu yang normal dan dapat diterima secara terbuka, pengguna multibahasa dapat lebih percaya diri dalam menerima identitas dirinya sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang multibahasa.
Trigatra Bangun Bahasa hanya dapat berhasil jika kita memahami jati diri kita sebagai masyarakat Indonesia yang multibahasa dari sejak bangsa ini ada.
Jika kita ingin menyeimbangkan penggunaan tiga macam bahasa dalam Trigatra Bangun Bahasa, perluas ”translanguaging space” dan kesempatan untuk terpapar oleh berbagai praktik kebahasaan yang ada di berbagai konteks.
Misalnya, jika kita ingin generasi muda kita terpapar lebih banyak praktik bahasa daerah, perluas konteks yang menggunakan bahasa tersebut secara dominan sambil tetap memberikan ruang translanguaging sehingga pengguna multibahasa akan secara alami memperbarui repertoarnya dan makin sering menggunakan sumber daya kebahasaan daerah dalam berkomunikasi. (*)