Nobel Ekonomi 2025: Resonansi Gagasannya untuk RI

Selasa 21-10-2025,16:24 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Pemikiran ketiga ekonom itu telah menyingkap betapa pentingnya aspek kewaspadaan dan upaya untuk mengantisipasi bahkan mengatasi ancaman terhadap kelangsungan pertumbuhan ekonomi.

PESAN TERSIRAT UNTUK INDONESIA

Ekonomi yang bertumbuh dengan signifikan akan terlihat pada peningkatan pendapatan per kapita, penambahan lapangan kerja, meningkatnya cadangan devisa, kokohnya keuangan pemerintah yang ditopang basis fiskal yang tangguh dan moneter yang stabil, serta meningkatnya daya saing negara. 

Sejumlah faktor pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia 2024 menjadi bahan pertimbangan dari berbagai aspek krusial yang akan membentuk lanskap ekonomi Indonesia di tahun 2025, yang juga merupakan kunci strategis menuju resiliensi ekonomi pada 2026, dan ke depan begitu seterusnya. 

Proyeksi pertumbuhan ekonomi yang optimistis perlu diimbangi dengan pemahaman mendalam terhadap faktor-faktor pendorong, baik internal maupun eksternal. 

Dari peran investasi dan infrastruktur hingga kualitas sumber daya manusia dan kebijakan pemerintah, pemahaman itu akan mengungkap faktor keberhasilan mencapai target pertumbuhan ekonomi yang dipatok. 

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 bergantung pada sinergi berbagai faktor. Investasi, baik domestik maupun asing, akan menjadi penggerak utama, didukung oleh pembangunan infrastruktur yang memadai. 

Peningkatan kualitas sumber daya manusia dan inovasi teknologi juga berperan vital. Begitu pula dengan kontribusi sektor unggulan dan kebijakan pemerintah yang tepat sasaran. 

Pada fase peningkatan inovasi teknologi yang menopang program hilirisasi, program prioritas yang menjadi visi Presiden Prabowo Subianto menuju pertumbuhan ekonomi 8 persen, substansi pemikiran Joel Mokyr cukup relevan untuk menjadi bahan pertimbangan. 

Pertama, pentingnya aspek pemanfaatan teknologi dalam menopang program hilirisasi, yang secara substitusi, diharapkan mampu mengubah strategi pertumbuhan ekonomi berbasis ekonomi ekstraktif ke arah ekonomi inovatif. 

Indonesia patut mengambil dan mencerna pengalaman sejarah pahit di masa lalu pasca-era commodity boom pada 1970-an hingga 1980-an. Ketergantungan terhadap ekspor bahan mentah (sektor ekstraktif) mendorong ekspor besar-besaran saat harga sedang tinggi. 

Padahal, harga komoditas selalu rentan berfluktuasi mengikuti harga pasar global. Ketika harga komoditas jatuh, Indonesia terkena imbas dan kembali mengandalkan sektor konsumsi rumah tangga untuk menopang perekonomian. 

Kedua, di tengah ketidakpastian ekonomi global dan kian protektifnya pasar ekspor akibat perang dagang AS versus Tiongkok, tuntutan untuk melakukan diversifikasi pasar ekspor menjadi hal yang tak terelakkan. 

Indonesia bisa memanfaatkan keanggotaan BRICS dalam menjajaki dan membuka peluang pasar di sejumlah negara anggota aliansi ekonomi baru yang digagas Tiongkok dan Rusia. 

Dalam World Economic Outlook edisi Oktober 2024, IMF telah memprediksi bahwa dalam kurun tidak lebih dari sepuluh tahun mendatang dunia akan makin bergantung pada kelompok ekonomi berkembang BRICS untuk mendorong ekspansi pertumbuhan ekonominya ketimbang negara-negara Barat yang tergabung dalam G-7 yang dipimpin AS. 

Oleh karena itu, reorientasi strategi pertumbuhan ekonomi melalui hilirisasi SDA dan diversifikasi pasar ekspor menjadi hal yang sangat urgen untuk diimplementasikan secara berkelanjutan. (*)  

Kategori :