Menghakimi Pesantren, Adilkah Kita?

Rabu 22-10-2025,12:49 WIB
Oleh: Hisnindarsyah*

Dunia pesantren masih menjadi topik hangat sorotan publik. Setelah gelombang kritikan tajam atas musibah robohnya gedung di Pondok Pesantren, kini perbincangan semakin melebar.  Termasuk media nasional ikut menayangkan konten kritikan gaya hidup segelintir Kiai yang dianggap mewah. Serta kritikan tradisi santri yang dinilai sebagai bentuk perbudakan. Tuduhan-tuduhan semacam itu seringkali datang dari kacamata luar yang tidak memahami ruh dan nilai-nilai fundamental yang telah menggerakkan pesantren selama berabad-abad.  Menghakimi dunia pesantren yang telah berusia ratusan tahun hanya dari permukaan adalah sebuah kekeliruan.

Masyarakat masa kini banyak yang melupakan sejarah, bahwa pesantren lahir bukan dari kemewahan, melainkan dari keikhlasan pengabdian.

Ketika pintu pendidikan formal ditutup rapat bagi kaum pribumi di era kolonial, para Ulama yang tampil sebagai benteng ilmu dan moral.

Para Ulama mengajar tanpa pamrih, seringkali hanya dibayar dengan beras, singkong, atau bahkan nihil. Pengabdian inilah yang mengakar dan terus hidup hingga hari ini di ribuan pesantren di pelosok negeri.

BACA JUGA:Mewujudkan Pesantren Ramah Anak

BACA JUGA:Transformasi Pesantren Menuju Indonesia Emas 2045: Refleksi Hari Santri Nasional 2025

Hingga saat ini, masih banyak pesantren yang tetap mematok biaya yang sangat murah, bahkan gratis bagi anak yatim dan warga sekitar. Agar ilmu tetap dapat diakses oleh semua kalangan. 

Konsekuensi dari kebijakan tersebut mengakibatkan fasilitas yang tersedia seringkali sangat sederhana. Tak jarang kita temui gedung yang rapuh, kamar santri yang berdesakan, dan dapur umum kecil dengan fasilitas seadanya yang dikelola bersama.

Musibah runtuhnya gedung hingga mengakibatkan korban jiwa, harus menjadi pengingat bahwa lembaga-lembaga yang beroperasi atas dasar keikhlasan ini, sangat membutuhkan dukungan kita semua.

Maka narasi segelintir Kiai yang hidup mewah dengan mobil Alphard sementara santrinya hidup prihatin, adalah generalisasi yang tidak adil.

Hal tersebut mengabaikan jutaan kiai lain di seluruh pelosok negeri yang mengabdikan hidup mereka dalam kesederhanaan.

Bahkan, banyak dari para Kiai pengasuh pesantren justru membangun usaha sampingan bukan untuk memperkaya diri, melainkan untuk menopang biaya operasional pesantren agar tidak membebani santri. Pesantren adalah lembaga yang berdiri di atas keringat dan ketulusan, bukan kemewahan.

Tuduhan lain yang tak kalah santer adalah anggapan bahwa tradisi di pesantren merupakan bentuk perbudakan modern.

Aktivitas seperti kerja bakti (ro'an) atau tradisi santri mencium tangan Kiai disalahartikan sebagai eksploitasi. Tuduhan tersebut adalah tuduhan yang tidak tepat dan tidak mendasar.

Bagi santri, terlibat dalam ro'an seperti membersihkan lingkungan pesantren atau membantu pembangunan gedung, adalah momentum yang dinanti-nantikan dengan penuh kebanggaan.

BACA JUGA:Sambut Hari Santri, Gernas Ayo Mondok Sampaikan Risalah Jaga Marwah Pesantren dan Santri

Kategori :