BACA JUGA:Viral 'Tepuk Persalinan', Kreativitas Warganet yang Sarat Makna Kesehatan Ibu
“Kami memiliki kewajiban memastikan bahwa produk yang beredar di pasar memenuhi standar halal, serta memberikan edukasi kepada pelaku usaha. Kami juga bekerja sama dengan MUI dalam pemberian sertifikasi halal,” tegas Yuna.
Anda sudah tahu, kasus tersebut berawal dari sebuah warung bakso di Desa Ngestiharjo, Kasihan, Kabupaten Bantul, yang diketahui menjual bakso mengandung babi namun tidak mencantumkan spanduk atau label nonhalal.
Fenomena itu memicu keresahan masyarakat karena banyak pembeli Muslim, termasuk yang berjilbab terlihat makan di sana tanpa mengetahui kandungannya.
BACA JUGA:Olahraga Baru Ini Lagi Viral, Kamu Tim Padel atau Tim Pickleball?
Mengetahui hal tersebut, Dewan Masjid Indonesia (DMI) Ngestiharjo bersama warga setempat kemudian memasang spanduk bertuliskan “Bakso Babi” di depan warung tersebut.
Langkah itu dilakukan sebagai bentuk klarifikasi publik dan perlindungan konsumen Muslim. Namun, setelah spanduk itu viral di media sosial, warganet terbelah.
Sebagian menilai tindakan DMI tepat, sebagian lain menilai seharusnya pemerintah daerah yang lebih aktif melakukan pengawasan dan penegakan aturan.
BACA JUGA:BGN Minta Evaluasi Menu MBG setelah Viral Pangsit Goreng di SD Depok
Kasus “bakso babi tanpa label” di Bantul menjadi cermin penting bagi penegakan regulasi produk halal di daerah.
Yogyakarta, yang selama ini dikenal sebagai kota wisata dan pendidikan, kini dihadapkan pada tantangan transparansi produk konsumsi di ruang publik.
Dari sisi hukum, Perda Nomor 5 Tahun 2014 dan Pergub 27 Tahun 2018 sudah menegaskan kewajiban label halal dan mekanisme pengawasan.
Namun, dari sisi implementasi, kasus ini menunjukkan masih adanya celah pengawasan di lapangan, terutama terhadap usaha kuliner kecil yang belum terdaftar atau tidak berizin lengkap. (*)