INDONESIA adalah negeri dengan 17 ribu pulau, ribuan etnis, dan kekayaan rempah yang membuat dunia iri. Namun, di balik kekayaan itu, ada satu aset yang sering kali kita lupakan: kuliner Nusantara. Dari dapur tradisional yang sederhana hingga dapur modern berstandar hotel berbintang, kuliner kita bukan sekadar makanan. Ia adalah identitas, kekuatan ekonomi, sekaligus alat diplomasi budaya.
Hari ini, ketika Indonesia sedang menekan tombol reset untuk bangkit dari berbagai krisis, kuliner seharusnya mendapat tempat terhormat. Sebab, kuliner bukan hanya urusan perut, kuliner adalah bahasa universal yang bisa mempertemukan ekonomi, pariwisata, budaya, bahkan politik.
RESET INDONESIA DAN MAKNA KULINER
Reset berarti mengulang dengan arah baru. Dalam konteks kuliner, reset Indonesia adalah kesempatan untuk mengubah cara pandang kita terhadap makanan lokal. Selama ini kita sering minder dengan kuliner asing –bangga makan pizza, ramen, atau croissant, tapi lupa bahwa kita punya rawon, gudeg, papeda, hingga sate lilit yang tak kalah nikmat.
BACA JUGA:Tren F&B Series 2025 (2): Dari Plant-Based hingga Pengalaman Kuliner Imersif
BACA JUGA:Salmon Bakar Sambal Matah Kreasi Chef Alimin, Kuliner Fusion Bercitarasa Nusantara
Reset Indonesia lewat kuliner berarti menempatkan makanan Nusantara bukan sekadar comfort food, melainkan juga competitive food. Bukan sekadar hidangan rumah tangga, melainkan juga produk yang bisa bersaing di pasar global.
TANTANGAN KULINER NUSANTARA
Namun, tentu saja, tidak ada reset tanpa melihat realitas. Ada beberapa tantangan besar yang kita hadapi:
Pertama, kurangnya standardisasi. Banyak resep tradisional yang belum terdokumentasi dengan baik. Akibatnya, cita rasa bisa berbeda jauh antara satu daerah dan daerah lain, bahkan dalam hidangan yang sama.
BACA JUGA:Launching Menu Lokal sambil Pamerkan Kreasi Kuliner yang Kaya Rempah dan Autentik
BACA JUGA:6 Kuliner Seafood Khas Nusantara yang Menggugah Selera
Kedua, branding yang lemah. Dunia mengenal sushi (Jepang), pizza (Italia), kimchi (Korea), tapi belum tentu mengenal rendang, soto, atau tempe. Padahal, potensi kita tidak kalah.
Ketiga, rantai pasok pangan. Petani, nelayan, dan produsen bahan baku lokal sering belum masuk sistem distribusi modern. Harga bahan naik-turun, kualitas tidak seragam, sehingga menyulitkan konsistensi produk kuliner.
Keempat, gempuran makanan instan dan globalisasi. Generasi muda lebih mengenal bubble tea ketimbang es dawet, lebih sering makan burger daripada lontong sayur. Jika tidak hati-hati, kita bisa kehilangan warisan kuliner kita sendiri.