Pemerintah berharap dengan menggandeng perusahaan katering, proses produksi dan distribusi makanan bisa lebih terkoordinasi. Namun, praktik di lapangan menunjukkan sejumlah persoalan.
Pertama, karena pihak ketiga adalah entitas bisnis, orientasinya tentu mencari keuntungan. Akibatnya, sering muncul praktik pengurangan porsi, penggunaan bahan makanan murah, atau pengolahan yang terburu-buru.
Tidak heran, muncul keluhan tentang lauk yang sedikit, buah potong ”setipis silet”, atau menu yang monoton dan kurang bergizi.
Kedua, pihak ketiga acap kali harus melayani ribuan siswa di banyak sekolah sekaligus. Itu mengakibatkan keterlambatan distribusi, makanan dingin ketika sampai di sekolah, bahkan risiko kontaminasi meningkat.
Ketiga, pengawasan menjadi sulit. Pihak sekolah tidak punya kendali langsung terhadap dapur penyedia. Sementara itu, rantai birokrasi dari pemerintah ke vendor SPPG dan sekolah membuat proses evaluasi berbelit.
Ketika terjadi masalah, seperti kasus keracunan, tanggung jawab sering saling lempar antara vendor, dinas, dan sekolah. Ironisnya, justru sekolah yang disibukkan mengurus anak yang sakit. Sementara itu, vendor SPPG santai-santai saja.
Keempat, pelibatan pihak ketiga terkadang justru menambah beban administratif pemerintah. Mulai tender, pengawasan kontrak, hingga audit keuangan memerlukan banyak waktu dan sumber daya manusia.
Padahal, tujuan awal MBG adalah memastikan anak-anak makan bergizi, tidak malah menambah pekerjaan administratif.
MENUJU MODEL HYBRID
Berdasar plus-minus kedua model tersebut, solusi yang paling realistis tidaklah memilih salah satu secara mutlak, tetapi menggabungkan keunggulan keduanya dalam model hybrid.
Dalam skema ini, sekolah menjadi pelaksana utama dengan otonomi penuh atas menu, bahan lokal, dan pengawasan, sedangkan pihak profesional (misalnya, tenaga gizi atau penyedia bahan baku) dilibatkan untuk memastikan standar gizi dan kebersihan terpenuhi.
Pemerintah daerah dapat berperan sebagai fasilitator dan pengawas mutu. Dengan demikian, MBG tidak hanya berjalan administratif, tetapi juga menjadi gerakan bersama antara negara, sekolah, dan masyarakat.
Bisa juga, sekolah diberi pilihan, apakah akan mengelola sendiri dengan dapur sekolahnya atau diserahkan kepada pihak ketiga (SPPG) yang ditunjuk pemerintah.
Itulah solusi kebijakan yang demokratis dan tidak memaksakan kehendak kepada lembaga pendidikan.
Dengan demikian, program MBG bisa menjadi simbol kasih sayang negara kepada anak bangsa. Bukan proyek, bukan pula ladang bisnis. Ia adalah bentuk kehadiran negara dalam menjamin hak dasar anak untuk sehat dan cerdas.
Ketika sekolah, masyarakat, dan pemerintah berjalan bersama, program MBG akan benar-benar menjadi gerakan sosial yang menumbuhkan kecerdasan bangsa. Bukan sekadar program makan, melainkan gerakan kedaulatan gizi anak Indonesia. (*)