Kasus Pembunuhan di Sumedang Dipicu KDRT: Motif Adik Bela Kakak

Senin 17-11-2025,21:59 WIB
Reporter : Djono W. Oesman
Editor : Yusuf Ridho

Dikutip dari The Guardian, 28 Oktober 2021, berjudul Frank Mullane: how the murder of his sister and nephew changed his life and purpose, diungkapkan sejarah masyarakat Inggris memahami KDRT sebagai kejahatan. 

Kisahnya tentang warga London, Frank Mullane, memelopori gerakan pendidikan dan perlindungan korban KDRT serta keluarga mereka. Mullane pendiri sekaligus CEO lembaga sosial Advocacy After Fatal Domestic Abuse (AAFDA), didirikan 2008.

AAFDA tidak menangani KDRT, tetapi mendidik dan melindungi keluarga korban KDRT yang disertai pembunuhan. Disebut domestic homicide review (DHR). 

Mullane mendirikan AAFDA karena termasuk keluarga korban KDRT yang disertai pembunuhan. Adiknya bernama Julia dibunuh suami bernama Alan Pemberton di rumah mereka di Newbury, Berkshire Barat, Inggris, September 2002. 

Waktu itu pernikahan Alan-Julia berusia 23 tahun. Mereka dikaruniai dua anak sudah remaja. Alan Pemberton menembak mati Julia dan anak laki-laki hasil pernikahan mereka, Will (saat itu usia 17 tahun). Kemudian, Alan menembak mati diri sendiri.

Di artikel The Guardian itu digambarkan, sebelum tragedi pembunuhan dan bunuh diri keluarga Pemberton, Mullane kurang memahami secara benar seluk-beluk KDRT. Ia saat itu dicurhati adiknya Julia yang sering dipukuli suami, Pemberton.

Bagaimana tanggapan Mullane atas curhatan itu? 

Mullane bertanya ke Julia: ”Kapan saya bisa menghajarnya (Pemberton)?”

Artinya, kekerasan harus dibalas dengan kekerasan. Pembunuhan boleh dibalas dengan pembunuhan. Itulah hukum menurut agama mereka. Mullane menyebutnya sebagai ”cara John Wayne”. Merujuk nama aktor top AS, John Wayne, kelahiran 26 Mei 1907, Winterset, Iowa, AS, yang gemar menembak.

Mullane bukan cuma bicara kepada Julia, bukan cuma memberikan saran. Namun, ia aktif membela adiknya, Julia. Ketika Julia menelepon Mullane bahwa Pemberton memukul Julia, saat itu juga Mullane berangkat bermobil ke rumah keluarga Pemberton. Mullane siap membela adiknya, untuk menghajar Pemberton. Tapi, tiba di rumah Pemberton, pintu rumah dikunci dari dalam. Pemberton tidak mengizinkan Mullane masuk rumah.

Kemudian, dengan sangat nekat, Mullane mendirikan tenda di teras depan rumah tersebut. Ia menunggu sampai Pemberton keluar rumah, bakal langsung ia hajar.

Ternyata Pemberton tidak keluar rumah, sampai ia menelepon polisi melaporkan hal itu. Polisi tiba, menggiring Mullane agar meninggalkan rumah tersebut.

Setelah kejadian tersebut, Mullane masih berencana membunuh Pemberton. Ia tidak rela adiknya dianiaya suami. Sampai, terjadi tragedi pembunuhan dan bunuh diri keluarga Pemberton.

Sekarang, pandangan Mullane tentang KDRT sudah berbeda dengan dulu. Ia mendirikan AAFDA untuk membantu mendidik dan melindungi keluarga korban KDRT. Mendidik, agar di suatu keluarga tidak terjadi KDRT. Melindungi, jika di suatu keluarga sudah terjadi KDRT disertai pembunuhan.

Dari kisah itu, jelas bahwa warga Inggris pun pada tahun tersebut masih kurang memahami KDRT. Belum ada lembaga konsultasi atau pendidikan agar tidak terjadi KDRT. Karena itu, jika terjadi KDRT, pihak keluarga korban bakal balas dendam kepada pelaku.

Hal itu terjadi di Dusun Nangko, Sumedang, dua hari lalu. Dan, adik korban Hayati membela kakaknya dengan cara membunuh Dede. Para tetangga di masyarakat tradisional itu tidak berani intervensi mencegah KDRT karena mereka merasa bahwa cekcok keluarga urusan keluarga yang cekcok. Bukan urusan tetangga. (*)

Kategori :