PENDIDIKAN Indonesia memasuki era baru yang penuh harapan dengan diluncurkannya tes kemampuan akademik (TKA) berdasar Peraturan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 9 Tahun 2025. Kebijakan itu menandai komitmen serius pemerintah dalam membangun sistem evaluasi pendidikan yang objektif, inklusif, dan manusiawi.
Dengan tingkat kehadiran mencapai 98 persen pada gelombang kedua dan partisipasi lebih dari 3,3 juta peserta, TKA membuktikan diri sebagai program yang disambut baik oleh ekosistem pendidikan nasional.
Lebih dari sekadar instrumen evaluasi, TKA mewakili upaya transformatif untuk menjembatani berbagai jalur pendidikan dan memberikan pengakuan yang adil terhadap prestasi akademik setiap anak Indonesia.
BACA JUGA:Simulasi Tes Kemampuan Akademik Dimulai Pekan Ini, Ujian Nasional Resmi Dihapus Mulai 2025
BACA JUGA:Antisipasi Kendala, Kemendikdasmen Jadwalkan Tes Kemampuan Akademik Susulan
Pelaksanaan TKA di sekolah kami, SMAN 1 Lhokseumawe, Aceh, berlangsung khidmat dan lancar. Jumlah peserta 347 siswa, 6 di antaranya mengikuti kegiatan susulan di tanggal 17-18 November 2025 karena sakit (4 siswa), mengikuti perlombaan MTQ di Pidie Jaya yang berhasil mendapatkan juara harapan 1 atas nama Zahria Rizqa Rahmi (1 siswa), dan Pekan Olahraga Pelajar Nasional (Popnas) karate yang berhasil mendapat medali perak atas nama Ahmad Rayyansatari (1 siswa).
Alhamdulillah, dari aspek sarana pendukung komputer, listrik, internet pada saat pelaksanaan TKA, semua lancar, tidak ada gangguan. Para siswa antusias mengikuti kegiatan TKA.
TKA KOMITMEN INKLUSIVITAS PENDIDIKAN
Salah satu aspek paling menggembirakan dari TKA adalah filosofi dasarnya yang menempatkan siswa sebagai subjek yang memiliki otonomi dalam perjalanan pendidikannya. Berbeda dengan ujian nasional (UN) yang pernah menjadi momok karena statusnya sebagai penentu kelulusan, TKA hadir dengan pendekatan yang jauh lebih humanis.
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikdasmen Toni Toharudin dengan tegas menyatakan bahwa TKA bersifat tidak wajib dan tidak menjadi penilaian standar kelulusan.
Keputusan untuk menjadikan TKA sebagai asesmen sukarela mencerminkan pemahaman mendalam bahwa setiap siswa memiliki lintasan pembelajaran yang unik. Siswa yang merasa siap dapat mengikuti TKA untuk mendapatkan sertifikasi capaian akademik yang terstandar, sedangkan yang belum siap tidak perlu merasakan tekanan berlebihan.
Selain itu, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Abdul Mu’ti menegaskan bahwa murid yang tidak mengikuti TKA tetap dapat lulus dari satuan pendidikan mereka, memastikan bahwa tidak ada siswa yang terpinggirkan dari hak dasar mereka untuk menyelesaikan pendidikan.
Pendekatan itu patut diapresiasi sebagai koreksi atas sistem evaluasi masa lalu yang cenderung kaku dan menimbulkan stres berlebihan. Dengan memberikan kebebasan memilih, pemerintah menunjukkan kepercayaannya terhadap kemampuan siswa, guru, dan orang tua untuk membuat keputusan terbaik bagi perjalanan pendidikan mereka.
Namun, kebebasan itu juga disertai dengan tanggung jawab bahwa siswa dan keluarga perlu mempertimbangkan secara matang bahwa hasil TKA dapat menjadi aset berharga untuk seleksi ke jenjang pendidikan berikutnya, terutama melalui jalur prestasi.
Oleh karena itu, adanya inovasi dari TKA adalah komitmennya terhadap inklusivitas pendidikan yang harus diapresiasi.