Transformasi Lapas, dari Sistem Klasik Menuju Pusat Pembinaan Produktif

Kamis 20-11-2025,06:33 WIB
Oleh: H. Abdullah Rasyid*

MUNGKIN banyak yang tidak menyadari bahwa ”reformasi birokrasi” telah berhasil mengatasi berbagai hambatan yuridis, kultural-sosiologis, dan operasionalisasi teknis yang sebelumnya berjalan tidak optimal. 

Ya, reformasi birokrasi tidak hanya memperbaiki mekanisme administratif, tetapi juga membentuk fondasi perubahan yang sistemik hingga terciptanya inisiatif transformasi di lembaga pemasyarakatan Indonesia. 

Dalam tahapan implementasi saat ini, transformasi di lembaga pemasyarakatan (lapas) menjadi lebih berdampak dengan adanya pergeseran paradigma dari pendekatan ”penjeraan” tradisional menuju ”pembinaan” yang berkelanjutan. 

BACA JUGA:Lapas

BACA JUGA:Kebakaran Lapas, soal Kunci Sel

Pendekatan itu berfokus pada program-program yang produktif untuk memutus rantai kejahatan secara permanen sehingga dapat berkontribusi langsung pada penurunan tingkat ”residivisme” secara keseluruhan.

Meski begitu, para aktivis dan pegiat hak asasi manusia (HAM) masih terus memberikan sorotan tentang ”minimnya” kegiatan produktif di dalam penjara –yang berpotensi menimbulkan kebosanan ekstrem bagi warga binaan pemasyarakatan (WBP) dan menjadi ”pemicu” bagi para WBP untuk kembali melakukan tindak kejahatan (residivisme) setelah kembali ke lingkungan masyarakat. 

Kritik tersebut, meski valid pada masa lalu, kini harus dievaluasi ulang, termasuk tudingan bahwa lapas berfungsi seperti ”pasar terbuka” yang justru memperburuk kecanduan narkoba, akibat kesalahan fatal dalam sistem penempatan (penyatuan antara pengguna narkoba dengan pengedar dan bandar besar) di dalam satu lingkungan yang sama. 

Dengan kemajuan transformasi terkini, pendekatan itu telah mulai diatasi sehingga kritik lama perlu untuk lebih disesuaikan dengan realitas terbaru.

Sistem pemasyarakatan telah mengalami transformasi signifikan menuju arah yang lebih baik melalui pengaplikasian program-program yang produktif, pemisahan narapidana berisiko tinggi, dan kolaborasi antarinstansi pemerintah. 

Reformasi birokrasi bukan lagi sekedar alat administratif, melainkan juga ”katalisator” untuk menciptakan sistem pemasyarakatan yang lebih manusiawi, efektif, dan selaras dengan visi nasional pembangunan hukum yang inklusif. 

Itu merupakan wujud nyata dari pelaksanaan kebijakan Astacita pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, khususnya pada misi reformasi politik, hukum, dan birokrasi serta pemberantasan korupsi dan narkoba, yang didukung oleh 13 Program Akselerasi Kemenimipas. 

Misalnya, penguatan pembinaan produktif WBP, digitalisasi pengawasan real-time, optimalisasi PNBP melalui penguatan kegiatan pada sektor ekonomi lapas, serta penanganan ”overcapacity” untuk memastikan reintegrasi yang berkelanjutan dan berkeadilan bagi semua lapisan masyarakat.

Sepanjang tahun 2025, pemindahan secara masif WBP berisiko tinggi, termasuk bandar narkoba, terus dilakukan menuju lapas supermaksimum di Nusakambangan. 

Lebih dari 1.300 WBP high-risk telah dipindahkan ke fasilitas itu, dengan tambahan 196 orang pada bulan Agustus dari berbagai wilayah seperti Kepulauan Riau (57 WBP), Jawa Barat (55 WBP), dan Jambi (33 WBP). 

Kategori :