Bencana Berlapis: Kelompok Rentan Menanggung Beban Pemulihan yang Tidak Setara

Bencana Berlapis: Kelompok Rentan Menanggung Beban Pemulihan yang Tidak Setara

ILUSTRASI Bencana Berlapis: Kelompok Rentan Menanggung Beban Pemulihan yang Tidak Setara.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-

GEMPA BUMI, banjir bandang, atau erupsi gunung api sering kali disebut sebagai ”pemerintah sama rata” karena mereka menghantam semua orang tanpa pandang bulu. Namun, klaim kesetaraan itu segera pudar begitu masa tanggap darurat berakhir dan fase pemulihan dimulai. 

Di sanalah realitas pahit terungkap, yakni bencana alam justru menjadi cermin pembesar dari ketidakadilan sosial yang telah ada sebelumnya. 

Kelompok paling rentan –yaitu perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, lansia, dan masyarakat miskin– ternyata tidak hanya menanggung dampak guncangan pertama, tetapi juga harus memikul ”bencana berlapis” yang muncul dari sistem pemulihan yang tidak inklusif. 

BACA JUGA:Mengendus Jejak Gelap Rent-Seeking di Balik Bencana Ekologis

BACA JUGA:Pengerahan Sumber Daya Pusat Tanpa Status Bencana Nasional

Kerangka hukum dan kebijakan di Indonesia sebenarnya sudah cukup maju, mengadopsi prinsip-prinsip global dari United Nations Office for Disaster Risk Reduction (UNDRR). Lantas, mengapa di lapangan beban pemulihan tetap jatuh secara tidak proporsional pada pundak mereka yang sudah paling lemah?

KERANGKA IDEAL VS REALITAS PAHIT: DI MANA JURANGNYA?

Secara normatif, Indonesia memiliki fondasi kebijakan penanggulangan bencana yang relatif progresif. Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015–2030 sebagai acuan global menempatkan inklusivitas dan perhatian terhadap kelompok rentan sebagai prinsip penting, termasuk melalui gagasan build back better dalam fase pemulihan. 

Kerangka itu kemudian diadopsi ke dalam kebijakan nasional melalui Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 dan berbagai peraturan kepala BNPB. Pada tataran dokumen, pemulihan pascabencana diproyeksikan tidak sekadar memulihkan kondisi fisik, tetapi juga mendorong proses pemulihan yang lebih tangguh dan berkeadilan. 

BACA JUGA:Literasi Kunci Mengurangi Jumlah Korban Bencana

BACA JUGA:AI dan Gen Z: Bencana atau Oasis?

Hal itu sejalan dengan temuan tinjauan sistematis Sheikhbardsiri et al. (2017), yang menekankan bahwa rehabilitasi pascabencana, terutama bagi kelompok rentan, perlu dipahami sebagai proses multidimensi, mencakup aspek fisik, psikologis, sosial, dan ekonomi.

Namun, di sanalah jurang itu menganga. Tinjauan sistematis yang sama mencatat bahwa dalam banyak kasus, intervensi pemulihan dilaporkan secara terfragmentasi, dengan durasi program yang tidak selalu jelas. 

Artinya, pemulihan yang ideal sering kali terhenti di tataran konsep. Di Indonesia, jurang itu berwujud nyata dan menyakitkan. Studi empiris Wirawan et al. (2024) mengenai tsunami Palu 2018 menunjukkan bahwa perempuan muncul sebagai kelompok dengan tingkat kerentanan tertinggi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: