SETIAP HARI jutaan potret anak diunggah ke media sosial. Pada Hari Anak Sedunia, muncul pertanyaan penting: ruang digital seperti apa yang sedang diwariskan kepada generasi paling muda?
Di berbagai lini masa media sosial, wajah anak hadir dalam ritme yang nyaris konstan: tawa riang seorang balita, gerak spontan seorang bayi, atau dokumentasi ketika hari pertama sekolah.
Konten visual tersebut tampak sederhana, tetapi di balik kelucuan dan kepolosannya, tersimpan dinamika yang lebih kompleks. Fenomena berbagi kehidupan anak secara publik di media sosial yang sering disebut sebagai sharenting bukan lagi sekadar tindakan spontan, melainkan bagian dari pola budaya digital yang terus berkembang.
Konten tentang anak tidak hanya berfungsi sebagai dokumentasi untuk kenangan. Unggahan semacam itu menjadi ekspresi identitas keluarga sekaligus pembentuk citra pola pengasuhan. Namun, di balik itu, terdapat pertanyaan penting mengenai privasi, batas etis, dan posisi anak dalam ekosistem digital.
Fenomena tersebut tidak dapat dipandang semata-mata sebagai pilihan orang tua. Sebab, pertumbuhan sharenting berkaitan erat dengan cara media sosial bekerja dan cara masyarakat digital memaknai keluarga dalam ruang publik.
FAKTOR PENYEBAB MELUASNYA SHARENTING
Album foto keluarga di buku atau galeri gawai kini tergantikan oleh platform digital. Kegiatan anak sehari-hari berubah menjadi narasi publik dan dokumentasi yang bersifat personal kini menjadi bagian dari konsumsi visual yang lebih luas.
Hal itu menyebabkan dokumentasi yang sifatnya pribadi berubah menjadi milik publik di ruang terbuka.
Konten yang menampilkan ekspresi lucu, polos, dan spontan anak cenderung menarik perhatian. Sistem algoritma yang memberikan rekomendasi konten mengenali pola tersebut dan mendorong unggahan anak untuk terus naik ke permukaan (FYP = for you page) sehingga kebiasaan berbagi di media sosial terus menguat.
Dalam berbagai komunitas daring, aktivitas mendidik dan merawat anak sering dipamerkan sebagai bentuk pencapaian. Tekanan untuk menunjukkan keluarga ideal membuat dokumentasi anak menjadi penanda ”keberhasilan” tertentu dalam pengasuhan anak.
KONSEKUENSI YANG TIDAK SELALU DISADARI
Setiap foto dan video yang diunggah berpotensi membentuk identitas daring seorang anak. Materi visual tersebut dapat bertahan dalam dunia internet lebih lama daripada masa kecil anak itu sendiri.
Foto wajah anak mengandung informasi yang dapat diproses teknologi pengenalan wajah. Data biometrik itu tersimpan dalam sistem digital, tanpa kontrol penuh dari orang tua atau keluarga yang mengunggahnya.
Dalam konteks monetisasi pembuatan konten, kehadiran anak dapat menjadi bagian penting dari isi konten. Ketika unggahan menghasilkan pendapatan, posisi anak dapat dikomodifikasi menjadi elemen yang memiliki nilai jual, walau sering kali luput dari kesadaran.
Paparan publik sejak dini juga berpotensi memengaruhi cara anak memahami privasi, batas personal, dan citra pribadi. Dampaknya mungkin tidak terlihat langsung, tetapi dapat terasa seiring bertambahnya usia anak.