HARIAN DISWAY - “Apakah game masih bisa dibilang karya seni? atau sekadar komoditas pasar?” Setiap kali industri itu berubah dengan cepat, pertanyaan itu mungkin bergema di kepala Dan Houser, Co-Founder Rockstar Games dan Absurd Ventures.
Dunia game kini berpacu dengan teknologi cerdas, neural engine, dan segala algoritma yang menjanjikan dunia baru. Tapi di tengah gegap gempita AI generatif, ada sosok yang justru menginjak rem.
Houser, penulis di balik Grand Theft Auto dan Red Dead Redemption percaya bahwa game adalah karya seni.
Bahwa dalam tiap dialog pedas dan tiap jalanan kota virtual yang riuh, ada kemanusiaan yang harus dipertahankan.
BACA JUGA:Trailer Grand Theft Auto VI Bikin Gemes
BACA JUGA:Kasus GTA 6: Mengapa Game Sekarang Butuh Waktu Penggarapan Semakin Lama daripada Game Zaman Dulu?
Baginya, masa depan game tak sekadar mempercepat produksi atau meminimalkan biaya tenaga kreatif. Tapi ada hal yang lebih besar. Yakni mempertahankan ruh manusia di dalam cerita.
“Kalau semua bisa dibuat mesin, kita akan kehilangan alasan kenapa kita menciptakan karya,” begitu kira-kira pesan yang ia sampaikan dalam berbagai wawancara. Ia menjaga satu hal yang kini dianggap kian membias: sisi kemanusiaan.
Kreativitas Bukan Sekadar Rumus
Red Dead Redemption punya kisah dan gameplay yang begitu epik. --Gamerant
AI memang banyak membantu studio game. Dialog NPC bisa dihasilkan tanpa batas. Quest bisa dibuat otomatis. Dunia yang terbentang seluas galaksi bisa hadir hanya dengan perintah teks.
Namun, Houser tahu betul apa yang membuat sebuah cerita tinggal di hati pemain. Yaitu konflik, emosi, dan kebetulan-kebetulan yang tidak sempurna. Karakter tak sekadar boneka dengan skrip adaptif.
BACA JUGA:GTA 6 Dinilai Tak Akan Selamatkan Industri Gim yang Sedang Terpuruk
BACA JUGA:GTA 6 Ditunda Lagi, Take-Two Interactive dan Rockstar Fokus Memoles Detail dalam Game
Ia butuh kepedihan, keputusan buruk, sifat buruk manusia yang aneh namun memikat. Studio game-nya pun bukan perusahaan anti-teknologi. Mereka tetap memakai kecanggihan AI. Namun sebagai kuas. Bukan pengganti pelukisnya.
Houser sering mengingatkan bahwa teknologi canggih bisa membutakan. “Kalau kita terlalu sibuk mengejar efisiensi, nanti kita lupa apa yang mau kita ceritakan,” katanya.