Di rumah, Dahlan belajar tentang kejujuran. Bahwa miskin boleh, tidak jujur jangan. Dan, di sekolah, guru-gurunya menjaga nilai itu tetap menyala. Mereka tidak hanya mengajarkan hitungan dan hafalan. Mereka membentuk karakter.
Mereka melihat murid bukan sebagai angka, melainkan sebagai manusia kecil yang sedang mencari arah hidupnya.
Kini negara berusaha hadir lebih dekat. Makan Bergizi Gratis (MBG) memastikan perut anak-anak tidak lagi kosong saat belajar. Sekolah Rakyat membuka pintu bagi mereka yang selama ini hanya berdiri di luar pagar kesempatan.
BACA JUGA:Ada Apa dengan Dahlan Iskan dan Jawa Pos? (1): Sukses Membesarkan, tetapi Bukan Pemilik Tunggal
BACA JUGA:Ada Apa dengan Dahlan Iskan dan Jawa Pos? (3-Habis): Garap Pembaca Muda di Tengah Disrupsi Media
Itu seperti tangan negara yang terulur bagi anak-anak yang mungkin pernah merasakan apa yang Dahlan kecil alami: ingin sekolah, tetapi keadaan sering tak ramah.
Namun, kebijakan selalu membutuhkan tangan yang menghidupkannya: guru. Gurulah yang memastikan murid benar-benar makan. Gurulah yang menjaga agar sekolah tetap menjadi ruang aman.
Guru yang bekerja di garis paling depan, bukan di podium peresmian. Mereka yang namanya jarang disebut, tetapi perannya menentukan.
Sertifikasi memang membantu sebagian guru, tetapi jurang antara PNS, PPPK, dan honorer masih panjang. Ada guru honorer belasan tahun mengajar dengan gaji yang tidak layak. Ada sekolah yang harus memutar otak demi menjaga martabat para gurunya.
Itu bukan sekadar soal anggaran. Ini soal harga diri profesi yang selama ini disebut ”pahlawan tanpa tanda jasa”.
Di sisi lain, hadir generasi guru muda. Mereka tampil dengan gaya berbeda: rapi, percaya diri, kadang datang dengan kendaraan bagus. Fenomena tersebut sering disalahpahami. Padahal, itu hanya tanda zaman.
Guru muda datang dari latar berbeda. Yang penting bukan tampilannya, melainkan apakah nilai dasar profesi tetap mereka pegang: keteladanan, integritas, dan kepekaan pada anak.
Digitalisasi pendidikan menambah tantangan lain. Guru tidak cukup hanya menjadi pengajar. Mereka harus menjadi kurator informasi, penjaga etika digital, dan penyangga emosi murid.
Di sanalah spirit Ki Hadjar Dewantara terasa hidup kembali: ing ngarso sung tuladha, memberikan teladan. Ing madya mangun karsa, membangkitkan semangat. Tut wuri handayani, memberikan dorongan dari belakang sambil membiarkan anak melangkah dengan kakinya sendiri.
Film Sepatu Dahlan mengingatkan kita bahwa mimpi seorang anak tidak boleh dikalahkan oleh sepasang sepatu. Tema Guru Hebat, Negara Kuat mengingatkan kita bahwa masa depan bangsa tidak boleh dikerdilkan oleh ketidakadilan terhadap guru. Dua pesan itu bertemu di satu titik: bangsa besar dibentuk oleh guru yang kuat.