KASUS akuisisi PT Jembatan Nusantara (JN) oleh PT ASDP Indonesia Ferry telah menjelma menjadi drama besar yang mempertemukan tiga kekuatan negara: KPK, DPR, dan presiden.
Di tengah janji besar Presiden Prabowo untuk memberantas korupsi tanpa kompromi, publik justru dihadapkan pada situasi paradoks: terpidana korupsi dibebaskan melalui keputusan presiden.
Kebingungan publik bukan tanpa alasan. KPK mengeklaim menemukan 12 perbuatan melawan hukum, majelis hakim tipikor menjatuhkan vonis bersalah, tetapi presiden mengeluarkan keppres rehabilitasi setelah menerima rekomendasi DPR.
BACA JUGA:Survei KPK dan Potret Karier ASN
BACA JUGA:KPK Larang Koruptor Pakai Masker, Mengapa DPR Terganggu?
Maka, timbul pertanyaan utama, apakah KPK salah atau presiden melangkah di zona abu-abu kekuasaan? Ataukah, ada tarik-menarik kepentingan yang tidak terlihat?
12 KESALAHAN FATAL: KONSTRUKSI KASUS ALA KPK
Pernyataan resmi Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menunjukkan bahwa konstruksi perkara ini tidak dibangun dari sekadar ”penilaian subjektif”, tetapi dari rangkaian tindakan yang dianggap sebagai penyimpangan serius. Ada 12 perbuatan melawan hukum yang disorot KPK.
Pertama, mengubah ketentuan dasar ASDP untuk memenuhi syarat kerja sama dengan PT JN, lalu mengubahnya lagi setelah proses berjalan.
BACA JUGA:Calon Pimpinan KPK dan Tantangan 79 Tahun Indonesia Merdeka
BACA JUGA:Halo… Saya di Ruang Tahanan KPK
Kedua, mengubah RKAP dari pembangunan kapal menjadi akuisisi perusahaan pelayaran.
Ketiga, tidak menyusun feasibility study memadai dan mengabaikan risk assessment.
Keempat, mematok nilai akuisisi sejak awal dan mengondisikan valuasi bersama beneficial owner PT JN.
Kelima, memberikan data tidak akurat kepada konsultan, termasuk status kapal yang sebenarnya tidak beroperasi.