Keppres Prabowo akhirnya membebaskan tiga terpidana, sebuah langkah yang secara hukum memang prerogatif presiden. Namun, secara etika, itu menimbulkan tanda tanya besar.
Mengapa presiden menempuh jalur politik untuk membatalkan putusan hukum?
Apakah itu bentuk koreksi terhadap KPK atau bentuk intervensi dalam proses peradilan?
Jika benar ada kesalahan dalam konstruksi kasus, mengapa tidak menempuh mekanisme hukum biasa seperti PK?
Ketiadaan transparansi justru menyuburkan dugaan politik: rehabilitasi itu adalah keputusan politis, bukan keputusan hukum.
NARASI TANDINGAN: PEMBELAAN IRA DAN TEMUAN BPK
Dalam pleidoi, Ira membangun narasi tandingan bahwa dia tidak pernah melakukan korupsi. Pembelaannya tegas.
Yang dibeli ASDP adalah saham perusahaan, bukan kapal.
Proses akuisisi telah melalui audit investigatif BPK pada 14 Maret 2023 yang menyimpulkan tidak ada pelanggaran material.
Saksi ahli BPK di persidangan juga mengonfirmasi kepatuhan prosedural.
Perhitungan kerugian negara yang digunakan dalam dakwaan adalah produk internal KPK, bukan perhitungan resmi BPK atau BPKP.
Kerugian negara baru diselesaikan KPK pada Mei 2025, tiga bulan setelah penahanan.
Jika benar demikian, konstruksi kasus itu memang bisa dipertanyakan. Namun, problemnya: dua lembaga negara (KPK dan BPK) menghasilkan kesimpulan berbeda dan pengadilan memilih memercayai KPK. Konflik data itulah yang membuat publik makin bingung.
PERTARUNGAN TIGA LEGITIMASI: KPK, DPR, DAN PRESIDEN
Dalam negara hukum, legitimasi pemberantasan korupsi bertumpu pada tiga fondasi: kekuatan bukti (KPK), kekuatan hukum (pengadilan), dan kewenangan konstitusional (presiden).
Namun, dalam kasus ASDP, ketiganya justru berbenturan. KPK yakin ada kejahatan. Pengadilan menyatakan bersalah. DPR mengatakan, itu bukan korupsi. Presiden menghapus akibat pidananya. Pertanyaannya menjadi sederhana, tetapi fundamental: siapa yang benar?