NAIKNYA kembali Donald Trump ke tampuk kekuasaan sebagai penguasa Gedung Putih banyak dimaknai para analis politik dan ekonom sebagai ”turning point” pemerintah Amerika Serikat (AS) mengembalikan marwah Negeri Paman Sam sebagai motor ekonomi dunia yang sempat memudar di era Joe Biden.
Berdasar catatan Bureau of Economic Analysis (BEA) Departemen Perdagangan AS yang dirilis bulan Juli 2023, hubungan dagang AS-Tiongkok menciptakan perputaran uang lebih dari 690,5 miliar dolar AS pada 2022. Sebanyak 153,8 miliar dolar AS dari ekspor dan 536,7 miliar dolar AS dari impor.
Namun, AS harus rela mengakui bahwa Tiongkok mencatatkan nilai surplus hasil perdagangan bilateral tersebut.
BACA JUGA:Dedolarisasi, Strategi LCS Melawan Hegemoni America First ala Trump
BACA JUGA:Seberapa Bahaya Yuan terhadap Dolar AS?
Pada Desember 2022, AS memang mengalami surplus perdagangan dengan beberapa negara di Amerika Selatan, Belanda, Inggris, Australia, Hongkong, Belgia, Brasil, dan Singapura, tetapi harus menelan pil pahit terperosok ke lubang defisit ketika melakukan transaksi dagang dengan Tiongkok.
Defisitnya bahkan meningkat 3 miliar dolar AS menjadi 22,8 miliar dolar AS pada Desember 2022. Ekspor ke Tiongkok terpantau menurun 1,0 miliar dolar AS menjadi 12,6 miliar dolar AS. Sebaliknya, impor dari Tiongkok meningkat 2 miliar dolar AS menjadi 35,4 miliar dolar AS.
Dilihat secara tahunan pun demikian. Aktivitas ekspor-impor dengan Tiongkok selama 2022 menyebabkan neraca perdagangan AS defisit hingga 382,9 miliar dolar AS, meningkat 29,4 miliar dolar AS atau 8,3 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya (year-on-year/YoY).
Ekspor AS ke Tiongkok pada 2022 memang naik 2,4 miliar dolar AS menjadi USD153,8 miliar, tetapi impor meningkat lebih tinggi, yakni senilai USD31,8 miliar menjadi USD536,8 miliar.
Secara keseluruhan, total defisit neraca perdagangan AS terhadap Tiongkok mencapai USD948,1 miliar, meningkat USD103 miliar atau 12,2 persen (YoY). Defisit yang nyaris menyentuh USD1 triliun itu menjadi rekor baru bagi AS.
Data di atas membuktikan bahwa AS masih jauh dari mampu untuk lepas dari produk dan jasa ”made in China”.
Washington kewalahan mengubah perilaku konsumsi dan membujuk korporasi multinasional atau swasta agar memutus hubungan dengan Beijing, bahkan ketika telah menerapkan berbagai pembatasan dan meningkatkan tarif sejak era Donald Trump.
Kebijakan pembatasan dan tarif menyeret dua kutub kekuatan ekonomi terbesar di dunia itu ke arena perang dagang terbuka sejak 2018.
Menurut Ashley J. Tellis dalam uraiannya yang berjudul The Return of U.S-China Strategic Competition yang terdapat dalam buku Strategic Asia 2020: U.S.-China Competition for Global Influence (2020), sebelum era Trump, AS cenderung bermain aman.
Trump-lah yang membuka tirai perselisihan dagang dengan Tiongkok. Ia mengubah pola hubungan dari mitra strategis menjadi pesaing strategis.