Dedolarisasi, Dehegemoni, dan Reorientasi Ekonomi Global

Sabtu 06-12-2025,20:41 WIB
Oleh: Sukarijanto*

Kini, dengan tampilnya kembali Donald Trump ke tampuk kekuasaan, diyakini banyak pihak akan mengubah peta hubungan dagang dengan Tiongkok maupun negara-negara satelitnya. 

Bahkan, jauh sebelum kemenangannya direbut, Trump telah melontarkan ancamannya jika menang pada kontestasi pilpres AS, ia akan meninjau kembali transaksi perdagangan AS dengan Tiongkok. 

Di era Trump tahun 2016–2020, AS sangat berfokus pada asas proteksionis dan hubungan bilateral yang agresif dengan karakteristik yang bertumpu pada peningkatan tarif impor tinggi kepada lawan dagang untuk memperkuat industri manufaktur dalam negeri. 

DEHEGEMONISASI BARAT?

Dalam KTT BRICS yang dihelat pada 22–24 Oktober 2024 di Kota Kazan, Rusia, telah dihasilkan kesepakatan yang amat penting selain pembahasan isu-isu konflik Timur Tengah, yakni penggunaan mata uang lokal dalam transaksi keuangan (LCS = local currency settlement) antara anggota dan mitra dagangnya. 

Komunike yang dinamakan Deklarasi Kazan itu juga menyatakan bahwa negara-negara BRICS menyadari manfaat luas dan strategis dari instrumen pembayaran lintas batas yang lebih cepat, berbiaya lebih rendah, lebih efisien, transparan, aman, dan inklusif berdasar minimalisasi hambatan perdagangan dan memastikan akses nondiskriminatif. 

Dorongan penggunaan mata uang lokal itu mengikuti inisiatif pembayaran lintas batas BRICS (BCBPI), yang bertujuan mempermudah pembayaran dan meminimalkan hambatan perdagangan di antara negara-negara anggota, sekaligus berangsur-angsur meninggalkan instrumen pembayaran SWIFT yang merupakan jaringan keuangan internasional yang banyak dianut negara Barat.

Rusia dan Tiongkok serta mayoritas anggota kaukus BRICS menyadari bahwa selama beberapa dekade dunia masih memiliki ketergantungan tinggi atas penggunaan mata uang dolar AS. 

Kuatnya dominasi dolar AS sebagai mata uang dalam transaksi dagang tidak lepas dari aspek historis yang mana pada 1944 Perjanjian Bretton Woods diratifikasi. Perjanjian itu muncul sebagai respons terhadap gejolak pasca-Perang Dunia II yang terjadi inflasi besar-besaran yang melanda Benua Eropa yang mengakibatkan sistem standar emas tidak dapat digunakan lagi. 

Perjanjian tersebut menjadikan dolar AS dipegang teguh oleh standar emas dan negara-negara lain menetapkan nilai mata uang mereka terhadap dolar AS. Perjanjian tersebut mengakibatkan terjadinya perubahan sistem yang menjadikan dolar AS sebagai standar dan nilai mata uang lainnya bergantung kepada nilai dolar AS. 

Seiring berjalannya waktu, kekuatan ekonomi Amerika Serikat menjadikan salah satu faktor kunci mempertahankan dominasi dolar selain sangat likuid dan mudah diterima di seluruh dunia.

Deklarasi Kazan telah mendorong inisiatif penggunaan LCS dalam setiap transaksi dagang antaranggota BRICS, secara pelan tapi pasti, akan mengurangi ketergantungan tinggi terhadap permintaan dolar AS. Terdapat sejumlah alasan mengapa penggunaan LCS mendapat sambutan antusias. 

Pertama, penggunaan mata uang regional dalam jumlah besar dalam perdagangan dan investasi berpotensi akan mengurangi dominasi dolar AS dan mengurangi eksposur kawasan terhadap kondisi moneter dan kebijakan moneter AS. 

Eksposur tersebut telah terbukti di masa lalu seperti kekurangan dolar AS setelah penutupan kantor pialang kenamaan, Lehman Brothers. Hal itu menciptakan aliran modal yang tidak stabil dari kelebihan likuiditas yang diciptakan kebijakan pelonggaran kuantitatif, dan jalur kenaikan suku bunga. 

Kedua, fakta bahwa Rusia merupakan produsen utama berbagai komoditas penting yang sebetulnya juga dibutuhkan negara-negara Barat. Mulai minyak, gas, hingga pupuk. Oleh karena itu, AS harus berpikir seribu kali jika hendak menerapkan sanksi dagang ketika Deklarasi Kazan melahirkan inisiatif penggunaan LCS dan mengurangi dolar AS. 

Ketiga, dengan potensi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global anggota mencapai angka 37 persen menguasai PDB dunia, BRICS jauh melampaui PDB negara-negara yang bergabung dalam kaukus ekonomi G7, yang beranggota Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, dan Jepang. 

Kategori :