BACA JUGA:Bulog Kirim 20 Ton Beras untuk Korban Bencana di Aceh
Temuan tersebut menegaskan bahwa kerentanan tidak semata ditentukan faktor fisik, tetapi juga oleh peran sosial, posisi, dan keterbatasan akses terhadap informasi serta sumber daya.
Lantas, apakah kerentanan yang terukur itu dijawab oleh sistem pemulihan yang ada? Sayangnya, tidak. Mekanisme verifikasi korban yang kaku meminggirkan janda tanpa sertifikat tanah.
Program pelatihan masif untuk pertukangan mengabaikan usaha mikro perempuan. Bantuan logistik ”sama rata” membisu terhadap kebutuhan spesifik balita, lansia, atau penyandang disabilitas.
BACA JUGA:Kunjungi Kabupaten Langkat, Sumut, Prabowo Sebut TNI-Polri Jadi Garda Terdepan Penanganan Bencana
BACA JUGA:Prabowo Tinjau Warga Terdampak Bencana di Takengon, Pastikan Pemulihan Dipercepat
Berbagai upaya lebih banyak berfokus pada pencapaian target fisik, seperti jumlah rumah yang terbangun atau panjang jalan yang dibangun, tetapi mengabaikan bahwa bagi kelompok rentan, bencana berarti runtuhnya seluruh sistem penopang kehidupan mereka.
Dengan demikian, jurang antara komitmen normatif dan realitas implementasi adalah buah dari pendekatan yang terlalu sempit dalam mendefinisikan ”pemulihan”. Ketika kerangka acuan hanya berfokus pada indikator fisik dan kuantitatif, seluruh energi dan anggaran pun mengalir ke arah tersebut.
Yang tak terukur menjadi tak terlihat dan yang tak terlihat menjadi tak diprioritaskan. Akibatnya, terjadilah paradoks kebijakan yang pahit, yaitu negara memiliki instrumen hukum yang dirancang untuk melindungi yang paling lemah, tetapi dalam eksekusinya justru mengukir ketidaksetaraan baru.
Itulah jurang sebenarnya, jurang yang tidak hanya dibentuk oleh kekeliruan implementasi, tetapi juga diperlebar oleh cara pandang yang sejak awal belum sepenuhnya inklusif.
Kerangka hukum yang dinilai progresif kerap dibanggakan, tetapi terlupa bahwa hukum hanya menjadi nyata ketika menyentuh realitas lapangan, mendengar suara yang paling lemah, dan berani mengukur keberhasilan bukan semata dari akumulasi capaian fisik, melainkan dari pulihnya martabat manusia.
MENGURAI LAPISAN BEBAN DALAM SETIAP TAHAP
Ketidaksetaraan yang membebani kelompok rentan dalam pemulihan bencana bukanlah sebuah kebetulan atau keniscayaan. Ia adalah konsekuensi yang terakumulasi secara sistematis, lapis demi lapis, melalui setiap fase penanggulangan bencana yang gagal mendengar dan melihat mereka.
Dimulai dari fase prabencana dan kesiapsiagaan, di mana partisipasi mereka sering hanya menjadi simbol belaka. Ketika suara perempuan, penyandang disabilitas dan lansia tidak didengar dalam penyusunan penilaian risiko atau rencana kontingensi, yang lahir adalah sistem yang cacat sejak awal.
Sistem peringatan dini pun mungkin hanya berupa sirene yang tak terjangkau oleh penyandang tunarungu atau lokasi hunian sementara yang berada di lereng curam yang mustahil dilalui oleh lansia.
Pelatihan kesiapsiagaan pun sering kali menjangkau para kepala keluarga yang umumnya laki-laki, sedangkan ibu-ibu yang sehari-hari mengasuh anak di rumah justru tak tersentuh pengetahuan penting itu.