Kemudian, di fase tanggap darurat, kerentanan yang tak terakomodasi itu berubah menjadi bahaya yang nyata dan mengancam. Hunian sementara yang dibangun serampangan, tanpa penerangan memadai, partisi privasi, atau pengawasan keamanan yang sensitif, dapat berubah dari tempat berlindung menjadi sarang kekerasan dan eksploitasi.
Bantuan logistik yang didistribusikan dengan prinsip ”sama rata” satu paket beras per KK ternyata adalah ketidakadilan itu sendiri. Paket tersebut bisu terhadap jeritan kebutuhan spesifik seperti susu formula untuk balita, pembalut wanita, obat hipertensi untuk lansia, atau makanan lunak untuk disabilitas.
Di balik reruntuhan, sebuah ”krisis pengasuhan” pun meledak. Ketika sekolah dan pos pengasuhan anak hilang, beban merawat anak, orang sakit, dan lansia membengkak berlipat ganda dan seluruh tambahan beban itu, hampir selalu, jatuh ke pundak perempuan.
Namun, ketidaksetaraan yang paling menusuk justru mengkristal dalam fase rehabilitasi dan rekonstruksi. Di Jawa Timur, pascaerupsi Gunung Semeru 2021, banyak perempuan janda atau perempuan kepala keluarga yang kesulitan untuk mengakses bantuan perumahan karena persyaratan administrasi yang kaku.
Dokumen kepemilikan tanah yang masih atas nama almarhum suami atau kartu keluarga yang tidak mencantumkan mereka sebagai kepala keluarga menjadi penghalang yang meminggirkan hak mereka.
Program pemulihan ekonomi yang digelar masif, seperti pelatihan bangunan atau pertukangan, juga mengabaikan usaha mikro berbasis rumah tangga yang menjadi nafkah banyak perempuan di wilayah terdampak.
Akibatnya, bagi kelompok rentan, bencana tidak berakhir ketika bangunan kembali berdiri. Mereka kehilangan lebih dari atap. Mereka kehilangan akses atas hak pemulihan, terjerat utang, dan terpelanting lebih dalam ke dalam kemiskinan.
Pemulihan bagi mereka berjalan tertatih-tatih atau bahkan tak kunjung tiba. Pada akhirnya, pemulihan itu hanya menjadi milik sebagian orang, bukan untuk semua.
DARI OBJEK PERLINDUNGAN MENUJU SUBJEK PEMULIHAN
Sudah saatnya diakui bahwa pendekatan lama yang hanya menambahkan program khusus bagi perempuan, penyandang disabilitas, atau lansia ke dalam skema pemulihan yang telah baku tidak mampu menghentikan lingkaran ketidakadilan.
Solusi parsial ini hanya menjadi tempelan di pinggiran sebuah sistem yang dari dasarnya tidak inklusif.
Diperlukan perubahan paradigma yang lebih radikal dan menghormati martabat: sebuah pergeseran dari memandang kelompok rentan sebagai objek bantuan yang pasif, menunggu uluran tangan, menjadi subjek pemulihan yang aktif dan memimpin proses pemulihan mereka sendiri. Prinsip sederhana namun mendalam, ”nothing about us without us”, harus menjadi jiwa dari setiap aksi.
Itu berarti, suara mereka bukan lagi sekadar masukan yang bisa diabaikan, melainkan suara penentu yang duduk di meja pengambilan keputusan paling awal. Bayangkan sebuah forum permanen yang terdiri atas perwakilan perempuan penyintas, penyandang disabilitas, dan lansia, yang memiliki kursi dan hak suara yang setara di setiap level kluster penanggulangan bencana, dari tingkat nasional hingga desa.
Forum itulah yang akan bersama-sama menentukan prioritas kebijakan, mengawasi alokasi anggaran, dan mendesain program yang benar-benar menjawab kebutuhan nyata di lapangan.
Lebih dari itu, setiap rencana kontingensi dan program pemulihan harus melalui proses audit inklusi yang ketat sebelum dijalankan.
Audit itu bukan tugas birokrat semata, melainkan harus melibatkan konsultan langsung dari kelompok rentan itu sendiri, yang akan menilai apakah sebuah shelter aman bagi perempuan, apakah skema buangan air aksesibel bagi pengguna kursi roda, atau apakah pelatihan kewirausahaan benar-benar sesuai dengan kapasitas dan kondisi mereka.