Bencana Berlapis: Kelompok Rentan Menanggung Beban Pemulihan yang Tidak Setara

Minggu 14-12-2025,18:33 WIB
Oleh: Kartika Kinasih Azizah Setyari*

Untuk mewujudkannya, diperlukan alokasi dana khusus yang jelas dan terjamin dalam anggaran penanggulangan bencana. Anggaran itu harus diperuntukkan bagi upaya pemberdayaan yang benar-benar inklusif. 

Seluruh proses tersebut harus berlandaskan pada data terpilah berdasar jenis kelamin, usia, dan disabilitas yang dikumpulkan sejak fase darurat. Hanya dengan peta kebutuhan yang terperinci dan adil itulah respons pemulihan dapat tepat sasaran, mengubah beban berlapis menjadi resiliensi berlapis bagi seluruh masyarakat.

MEMULIHKAN KEMANUSIAAN, BUKAN HANYA INFRASTRUKTUR

Bencana alam tidak hanya menguji ketahanan fisik, tetapi proses pemulihan pascabencana juga menguji jiwa dan karakter bangsa. Sebuah masyarakat yang beradab tidak diukur dari kecepatannya membangun jembatan, tetapi dari komitmennya untuk tidak meninggalkan siapa pun di belakang, terutama mereka yang paling rentan.

Oleh karena itu, seruan ini harus didengar oleh semua pemangku kepentingan. Kepada BNPB/BPBD, implementasi peraturan tentang kelompok rentan harus menjadi indikator kinerja utama, dilengkapi dengan mekanisme pengawasan dan sanksi yang jelas. 

Kepada pemerintah daerah, rencana rehabilitasi dan rekonstruksi (RR) wajib memasukkan bab khusus tentang pemulihan inklusif dengan anggaran yang dialokasikan secara spesifik. 

Untuk masyarakat sipil dan media, dapat terus berkontribusi melalui pendekatan yang konstruktif. Memberikan ruang bagi kisah langsung penyintas dari kelompok rentan serta menjembatani pengalaman mereka dengan proses perumusan kebijakan, menjadi langkah penting agar kebijakan yang lahir lebih tepat sasaran dan berkelanjutan.

Rekomendasi konkret dapat diwujudkan melalui tiga langkah. 

Pertama, pembentukan forum permanen perwakilan kelompok rentan di setiap level kluster penanggulangan bencana, dari nasional hingga desa, dengan hak suara setara dalam pengambilan keputusan. 

Kedua, penerapan audit inklusi mandiri yang melibatkan konsultan dari kelompok rentan untuk setiap program pemulihan sebelum dilaksanakan. 

Ketiga, diperlukan alokasi dana khusus yang jelas dan tidak dapat dialihkan dalam anggaran penanggulangan bencana. Dana itu penting untuk memastikan upaya pemulihan dan pemberdayaan benar-benar dapat menjangkau dan mengangkat kelompok yang paling rentan. 

Implikasi dari kelalaian itu sudah jelas. Kebijakan yang hanya berfokus pada infrastruktur fisik akan memperpanjang siklus penderitaan yang berulang. Kerentanan sosial berpotensi mengkristal, ketimpangan ekonomi dapat makin melebar, dan modal sosial masyarakat akan terkikis. 

Sebaliknya, pemulihan yang memanusiakan akan mengubah beban berlapis menjadi ketangguhan berlapis, memperkuat kohesi sosial, dan mewujudkan pembangunan yang benar-benar berkelanjutan dan berkeadilan. 

Pemulihan bencana yang hakiki bukan tentang mengembalikan keadaan ke ”normal” yang lama. Sebab, ”normal” itulah yang mungkin telah menciptakan kerentanan. Tujuannya harus lebih ambisius, yaitu membangun kembali dengan lebih baik (build back better) yang inklusif dan berkeadilan. 

Hanya dengan menempatkan kelompok rentan sebagai pusat dari strategi pemulihan, ”bencana berlapis” dapat diubah menjadi ”resiliensi berlapis” untuk semua. 

Pada akhirnya, memulihkan martabat dan keadilan adalah pekerjaan yang jauh lebih mulia daripada sekadar menegakkan kembali tumpukan batu bata. (*)

Kategori :