Ketiga, apabila gubernur sebagai wakil pemerintah pusat tidak menyampaikan usul tersebut kepada menteri, maka menteri memberhentikan bupati terkait.
Terakhir, Pasal 81 UU Pemda menentukan bahwa dalam hal DPRD tidak menyampaikan pendapat atas usul pemberhentian, maka Pemerintah Pusat akan melakukan pemberhentian dengan terlebih dahulu melakukan pemeriksaan terhadap bupati terkait guna menemukan bukti-bukti pelanggaran. Hasil pemeriksaan tersebut kemudian disampaikan kepada Mahkamah Agung untuk diputuskan bahwa bupati dimaksud terbukti melakukan pelanggaran. Apabila bupati terbukti melakukan pelanggaran, maka Pemerintah Pusat melakukan pemberhentian terhadap bupati tersebut.
Kesimpulan
Secara umum, baik pemberhentian sementara maupun pemberhentian langsung terhadap Bupati Aceh Selatan pada hakikatnya merupakan hak prerogatif dari Pemerintah Pusat. Walaupun pada kenyatannya DPRD tidak menyatakan pendapat atas usul untuk memberhentikan Bupati, namun demikian Pemerintah Pusat masih memilliki wewenang untuk melakukan pemberhentian terhadap Bupati yang salah satu dalam penilaiannya termasuk sebagai perbuatan tercela.
Perbuatan tercela sebagaimana diatur dalam UU Pemda tidak memiliki batasan yang jelas. Dikarenakan biasnya frasa tersebut, maka perbuatan yang dilakukan oleh Bupati Aceh Selatan dapat dimaknai sebagai suatu perbuatan tercela mengingat kedudukannya sebagai Bupati, seyogyanya terlebih dahulu memprioritaskan penanganan terhadap bencana banjir serta hadir bagi warganya dengan terjun langsung menangani pemulihan bencana dibandingkan kepentingan pribadi.
Tindakan Bupati Aceh Selatan yang “desersi” atau tanpa izin pergi ke luar negeri untuk melaksanakan ibadah Umroh tanpa izin dengan kondisi daerah Kabupaten Aceh Selatan yang baru saja terkena bencana banjir, dapat dinilai oleh Pemerintah Pusat sebagai suatu perbuatan tercela, sehingga berkonsekuensi terhadap permberhentian jabatan Bupati Aceh Selatan. (*)
*) Dosen HTN Fakultas Hukum Ubaya