BANJIR BESAR yang melanda Sumatera Utara kembali membuka luka lama yaitu kerusakan hutan yang berlangsung bertahun-tahun. Setiap kali air naik, rumah hanyut, dan warga mengungsi, pola yang sama selalu berulang. Menteri datang, meninjau lokasi bencana, berbicara di depan kamera, dan menyampaikan bahwa “pemerintah sudah bergerak cepat”.
Kalimatnya terdengar heroik, seolah-olah ia bukan bagian dari mata rantai panjang yang membuat bencana itu terjadi. Di sinilah publik sering terkecoh bukan oleh bencana alam, melainkan oleh bahasa kekuasaan.
Menurut catatan beberapa lembaga lingkungan, lebih dari 54 persen tutupan hutan di wilayah yang terdampak banjir telah berubah fungsi dalam 15 tahun terakhir. Sekitar tiga pulu satu persen di antaranya menjadi lahan perkebunan, dua belas persen untuk pertambangan, dan sisanya hilang akibat pembalakan ilegal yang sulit dikendalikan.
BACA JUGA:Setrum Politik Presiden: Reshuffle Menteri Tidak Berada di Ruang Hampa
BACA JUGA:Mas Menteri Nadiem Makarim, Jejak Perjalanannya dari Gojek ke Go Jail
Ketika hutan hilang, air kehilangan penyangga. Sungai meluap. Desa terendam. Dan ironisnya, pejabat yang seharusnya menjaga hutan justru sering datang dengan narasi bak penyelamat dalam drama bencana.
Fenomena ini bukan sekadar masalah ekologis, tetapi juga masalah linguistik. Bahasa digunakan untuk membangun citra, meredam kritik, dan mengalihkan tanggung jawab. Inilah alasan mengapa pendekatan linguistik sangat penting untuk membaca kebenaran ucapan pejabat publik.
Ketika seorang menteri berkata “terjadi karena curah hujan ekstrem”, kita harus melihat tidak hanya apa yang diucapkan, tetapi juga apa yang sengaja tidak disebutkan.
BACA JUGA:Distingsi Kebijakan Menteri untuk Aksi, Bukan Sensasi
BACA JUGA:Menteri Bukan Hanya Pembantu Presiden
Pejabat sering memakai pola bahasa tertentu saat berbicara tentang bencana. Misalnya, ketika mereka mengatakan “Banjir ini hanya siklus tahunan,” masyarakat diarahkan untuk menerima bencana sebagai sesuatu yang alami dan wajar.
Padahal, ada faktor manusia yang tidak dibahas. Dalam kajian pragmatik, cara berbicara seperti ini disebut mitigasi tanggung jawab, yaitu usaha untuk mengurangi kesan bahwa pemerintah ikut bersalah dengan menyalahkan cuaca atau alam.
Contoh lain adalah kalimat seperti “Kami sudah turun langsung.” Secara linguistik, ini termasuk tindak tutur deklaratif-performatif, yaitu ucapan yang dibuat untuk memberi kesan bahwa pemerintah bergerak cepat dan hadir untuk rakyat.
BACA JUGA:Kemelut Pernyataan Menteri Pertahanan
BACA JUGA:Mas Menteri dan Gus Menteri