Namun, sering kali tindakan nyata di lapangan belum sebanding dengan kesan yang ingin ditampilkan melalui kata-kata tersebut. Kalimatnya terdengar meyakinkan, tetapi efeknya lebih banyak pada citra, bukan perubahan masalah yang sebenarnya.
Data komunikasi pemerintah menunjukkan bahwa sekitar 67 pernyataan pejabat saat bencana lebih menonjolkan aksi simbolik ketimbang kebijakan struktural. Tidak hanya itu, contoh lainnya seperti “Sebagian kawasan sudah direhabilitasi.”.
Namun, tanpa menyebut berapa luas kawasan yang rusak, yang direhabilitasi, dan berapa persen yang gagal dipulihkan. Menurut ahli linguistik George Lakoff, bahasa seperti ini bekerja melalui framing. Publik diarahkan fokus pada satu bagian kecil yang tampak positif, sementara kerusakan besar tidak dibahas.
BACA JUGA:Menteri Geng Solo
BACA JUGA:Kementerian Baru Prabowo
Dalam kasus banjir Sumut, publik melihat bagaimana menteri tampil seolah pelindung rakyat. Namun data menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap pembalakan ilegal hanya menyentuh sekitar enam persen pelaku lapangan, sementara pemeriksaan terhadap pemberi izin nyaris tidak pernah dilakukan.
Beberapa ahli lingkungan menjelaskan bahwa masalah ini bukan terjadi karena satu orang saja, tetapi karena adanya sistem yang salah dan dibiarkan terus berlangsung. Data menunjukkan bahwa delapan puluh persen izin perubahan fungsi hutan justru diberikan di daerah yang rawan banjir.
Dalam lima tahun terakhir, laju hilangnya hutan meningkat hingga dua puluh dua persen di beberapa kabupaten. Sementara itu, jumlah polisi hutan sangat tidak sebanding dengan luas wilayah yang harus diawasi. Rasionya hampir 1 petugas untuk dua puluh ribu hektare.
Dengan kondisi seperti ini, kerusakan hutan sulit dicegah. Itulah sebabnya, ketika seorang menteri datang saat banjir dan memberikan pernyataan di depan kamera, kata-katanya terasa tidak sejalan dengan kenyataan.
Dalam analisis wacana kritis, menurut Norman Fairclough, pola seperti ini disebut membangun wacana “kehadiran” datang ke lokasi, menenangkan warga, dan memberi solusi cepat untuk menutupi “ketidakhadiran”, yaitu tanggung jawab besar dari sistem kebijakan yang tidak pernah dibicarakan secara terbuka
Mengapa analisis linguistik penting? Sebab, bahasa pejabat tidak netral. Ia selalu punya tujuan. Dalam konteks bencana, bahasa bisa menjadi sisi untuk pejabat ingin terlihat bekerja keras, menghubungkan penyebab pada “cuaca” atau “kondisi alam”, membuat publik merasa semuanya telah ditangani dengan baik.
Melalui analisis linguistik, kita dapat membongkar pola-pola manipulasi informasi dari para Menteri dengan melihat apakah ucapan pejabat hanya tuturan “kami akan”, atau benar-benar diikuti tindakan secara nyata. Atau menelusuri implikatur baik makna tersirat yang ingin ditanamkan. Atau dari sisi wacana kritis dengan mencermati relasi kuasa siapa yang berbicara, dalam konteks apa, dan siapa yang diuntungkan dari cara bicara tersebut.
Bisa juga dengan mengamati gaya bahasa “atas” yang menciptakan jarak antara pemerintah dan korban bencana. Salah satu tokoh linguistik seperti Teun A. van Dijk menegaskan bahwa bahasa pejabat sering membentuk ideologi yaitu rakyat diarahkan untuk melihat pemerintah sebagai penolong, bukan sebagai pihak yang harus diawasi.
Karena itulah, analisis bahasa menjadi senjata penting untuk membaca kebenaran kebijakan.
APA YANG SEHARUSNYA DILAKUKAN?
Agar masyarakat tidak mudah tertipu oleh permainan bahasa pejabat, ada beberapa langkah yang perlu dilakukan. Pertama, setiap pernyataan pejabat harus disertai data yang jelas, seperti angka kerusakan hutan, nama penerima izin, dan persentase hutan yang hilang.