'Kamu Cantik Hari Ini', Ironi Pejabat Publik dan Bukti Perempuan Jurnalis masih Terancam

Jumat 19-12-2025,05:33 WIB
Oleh: Rinda Aunillah*

Kekerasan verbal oleh pejabat publik itu menambah panjang catatan kelam kekerasan terhadap jurnalis, terutama bagi perempuan. 

Hasil riset Kekerasan Seksual terhadap Jurnalis Perempuan Indonesia yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia bekerja sama dengan PR2Media (2022) menegaskan bahwa jurnalis perempuan masih menjadi target rentan kekerasan di Indonesia, baik di lapangan maupun di ruang redaksi. 

Tercatat, sebanyak 82,6 persen dari 852 responden mengaku pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka. 

Kerentanan itu diperparah oleh budaya patriarki yang masih mengakar, menempatkan perempuan dalam posisi inferior dan memandang profesi mereka dengan bias gender.

Ketika pejabat publik melancarkan serangan berbasis gender, ia merusak iklim kebebasan pers dan melanggengkan pandangan bahwa jurnalis perempuan dapat diperlakukan dengan standar yang berbeda dan merendahkan. 

Sebagaimana disoroti oleh AJI Indonesia dalam diskusi bertajuk Resiliensi Perempuan Jurnalis Menghadapi Serangan dalam Kerja Jurnalistik melalui media sosial X  pada 21 April 2025, jurnalis perempuan selalu merasakan ketimpangan dan kekerasan, sebuah realitas pahit yang mencoreng wajah penegakan hukum dan demokrasi.

Lebih lanjut, studi lain menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara perilaku komunikasi kepala daerah dengan citra publik dan ekspektasi publik yang terbentuk (Buluamang, 2018). 

Seorang pejabat yang tersandung korupsi sudah pasti memiliki citra buruk dan pelecehan verbal yang menyusul hanya akan memperburuk kondisi tersebut, sekaligus mengkhianati kepercayaan publik. 

Mereka gagal memahami bahwa jabatan publik menuntut standar etika yang lebih tinggi, bukan justru menjadi lisensi untuk bertindak sesuka hati.

Insiden itu harus menjadi momentum koreksi kolektif. Untuk memulihkan marwah etika publik dan melindungi jurnalis perempuan, penulis menilai sejumlah langkah mendesak perlu dilakukan. 

Langkah pertama adalah pernyataan sikap dan sanksi tegas dari institusi penegak hukum (KPK) dan partai politik yang menaungi pejabat publik tersebut. Kedua lembaga itu harus mengambil tindakan yang menegaskan bahwa tindakan pelecehan, bahkan dalam kondisi penahanan, adalah pelanggaran etika serius. 

Sanksi yang keras tidak hanya menjadi hukuman, tetapi juga sinyal penting bahwa kekerasan terhadap jurnalis adalah perbuatan yang tidak dapat ditoleransi.

Kedua, komunitas pers, organisasi jurnalis, dan Dewan Pers perlu segera memperkuat mekanisme perlindungan dan advokasi hukum bagi jurnalis perempuan. 

Dukungan psikologis dan bantuan hukum harus tersedia secara cepat untuk setiap kasus pelecehan. Itu penting untuk memastikan profesionalitas mereka terlindungi.

Di sisi lain, pejabat publik (termasuk kepala daerah) wajib menjalani pelatihan intensif mengenai etika komunikasi publik dan sensitivitas gender. Mereka harus diajari bahwa kritik pers adalah bagian integral dari demokrasi dan respons yang sehat adalah melalui dialog yang substanstif, bukan agresi atau pelecehan.

Peristiwa pelecehan verbal yang dilakukan bupati Lampung Tengah tersebut adalah alarm keras bagi kita semua. Sekali lagi, itu merupakan serangan terhadap profesionalisme, kebebasan pers, dan martabat kemanusiaan. 

Kategori :