'Kamu Cantik Hari Ini', Ironi Pejabat Publik dan Bukti Perempuan Jurnalis masih Terancam
ILUSTRASI 'Kamu Cantik Hari Ini', Ironi Pejabat Publik dan Bukti Perempuan Jurnalis masih Terancam.-Maulana Pamuji Gusti-Harian Disway-
KEMBALI, drama ironis menyentak nurani publik, sekaligus mempertontonkan kemerosotan etika yang memprihatinkan. Kali ini sorotan diarahkan kepada Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya (AW) yang tengah diborgol dan ditahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas dugaan korupsi. Bukannya menunjukkan penyesalan, ia justru mempertontonkan perilaku memalukan, pelecehan verbal terhadap seorang jurnalis perempuan.
Tindakan sang bupati itu disiarkan secara luas oleh berbagai media massa nasional. Entah apa yang tebersit di kepalanya, sempat-sempatnya mengeluarkan kalimat pelecehan saat ditanyai soal kasusnya.
Kalimat ”kamu cantik hari ini” menjadi bentuk akut dari relasi kuasa timpang dan krisis etika komunikasi yang menggerogoti sendi-sendi demokrasi kita.
BACA JUGA:Sosiolog UGM: Mario Dandy Satrio Mengungkap Fenomena Gunung Es Gaya Hidup Pejabat Publik Indonesia
BACA JUGA:Mandat Jurnalisme Warga di Tengah Krisis Ekologis
Perilaku komunikasi seorang pemimpin idealnya mencerminkan kualitas kepemimpinan dan integritasnya. Namun, yang kita saksikan adalah sebaliknya.
Dalam situasi tertekan akibat jeratan hukum, saat citra publiknya seharusnya sudah berada di titik nadir, sang bupati memilih melampiaskan frustrasi atau mungkin menunjukkan arogansi kekuasaan yang tersisa. Alhasil, ia menyerang secara verbal, menarget jurnalis perempuan yang sedang menjalankan tugas profesionalnya.
PELECEHAN JADI SENJATA INTIMIDASI
Pelecehan verbal oleh pejabat publik menjadi bukti telanjang bahwa kekuasaan, tanpa kontrol etika, sering kali menjelma menjadi arogansi yang destruktif. Tindakan seperti itu bukan hanya bentuk ketidaksopanan, melainkan juga senjata untuk mendiskreditkan.
Frasa ”kamu cantik” yang diucapkan dalam konteks wawancara mengenai kasus korupsi adalah upaya halus tetapi brutal untuk menggeser fokus dari isu substantif (korupsi) ke penampilan fisik dan gender sang jurnalis.
Itu merupakan bentuk intimidasi terselubung, bertujuan merendahkan profesionalitas perempuan jurnalis, membuat mereka merasa tidak nyaman, dan secara tidak langsung membungkam pertanyaan kritis yang mereka ajukan.
Dengan mengomentari fisik, sang pejabat seolah-olah berpesan bahwa peran perempuan di ruang publik lebih ditentukan oleh estetika daripada kompetensi profesional mereka.
Ironi kekuasaan mencapai puncaknya. Seorang tersangka korupsi yang tengah menghadapi proses hukum, yang seharusnya sibuk menyiapkan pembelaan etika dan hukum, masih merasa berhak untuk menentukan bagaimana seorang jurnalis perempuan harus disikapi.
Itu menunjukkan adanya rasa impunitas yang mendalam, seolah-olah posisi dan kekuasaan memberikan perisai tebal dari kritik dan konsekuensi etis, bahkan ketika ia sudah kehilangan kemerdekaannya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: