Kelima, penutup: integrasi takwa, kesehatan, dan kelestarian lingkungan.
Menutup elaborasi ini, saya ingin menekankan bahwa filsafat hukum Islam selalu bermuara pada kesejahteraan manusia lahir dan batin. Veganisme sebagai pilihan pola makan adalah hak individu yang dilindungi asalkan tidak disertai dengan keyakinan yang menyimpang dari akidah.
Islam mengajarkan kita untuk menjadi hamba yang kritis. Jangan hanya mengikuti tren global tanpa landasan ilmu.
Jika Anda memilih menjadi vegan karena peduli pada emisi karbon atau pemanasan global, itu adalah bentuk ijtihad lingkungan yang mulia. Namun, tetaplah akui bahwa daging adalah rezeki halal dari Allah agar Anda tidak tergolong orang yang ”mengharamkan yang halal”.
Dunia modern membutuhkan manusia yang bijak. Kita butuh orang-orang yang makan sayur dengan kesadaran lingkungan serta kita butuh orang-orang yang makan daging dengan kesadaran syukur dan etika penyembelihan. Keduanya bisa berjalan beriringan dalam bingkai Islam.
Mari kita kembali pada prinsip Al-Qur'an: ”Wahai manusia, makanlah dari apa yang ada di bumi yang halal dan baik, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan...” (Q.S. Al-Baqarah:168).
Langkah setan dalam konteks ini bisa berarti dua hal: makan secara zalim dan rakus atau mengharamkan karunia Allah dengan penuh kesombongan.
Jadilah muslim yang sehat fisiknya, tajam akalnya, dan lembut hatinya terhadap seluruh ciptaan-Nya. Wallahu a’lam bish-shawab. (*)
*) Shofiyullah Muzammil adalah guru besar filsafat hukum Islam, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta dan wakil ketua Komisi Fatwa MUI Pusat.