Veganisme dalam Timbangan Hukum Islam

Selasa 30-12-2025,08:05 WIB
Oleh: Shofiyullah Muzammil*

Jika kita mempelajari sirah Nabawiyah, Rasulullah SAW adalah teladan terbaik dalam pola makan moderat.

Nabi Muhammad SAW sangat menyukai daging, terutama bagian bahu (adz-dzira’), tetapi frekuensi beliau memakannya sangat jarang. Sayidah Aisyah RA pernah meriwayatkan bahwa selama dua bulan berturut-turut, dapur rumah nabi tidak menyala, dan mereka hanya bertahan hidup dengan al-aswadain (dua yang hitam): kurma dan air. 

Itu menunjukkan bahwa nabi adalah seorang ”semi-vegetarian” secara praktis, tetapi tetap memegang teguh prinsip kehalalan daging secara teologis.

Imam Malik bin Anas dalam kitab Al-Muwatta’ memberikan peringatan keras melalui sebuah bab berjudul Al-Hidzar minal Lahm (Peringatan terhadap Daging). 

Beliau mengutip perkataan Sayidina Umar bin Khattab: ”Hati-hatilah kalian dengan daging, karena daging memiliki ketergantungan (ketagihan) seperti ketergantungan pada khamr.”

Artinya, ulama terdahulu sudah menyadari bahaya konsumsi daging yang berlebihan bagi kesehatan jantung dan karakter manusia. 

Terlalu banyak makan daging dianggap bisa mengeraskan hati. Jadi, posisi Islam sangat jelas: Makanlah daging secukupnya sebagai sumber kekuatan, tetapi perbanyaklah sayuran dan buah-buahan sebagai sumber kesehatan. Itulah esensi diet Islam: bukan vegan total, melainkan juga bukan karnivora total.

Keempat, kritik terhadap industri peternakan: etika ihsan terhadap hewan.

Poin keempat ini adalah ruang tempat umat Islam bisa bertemu dan berdialog dengan para pegiat vegan. 

Banyak penganut veganisme yang lahir karena melihat kekejaman dalam industri peternakan modern (factory farming), yakni hewan disuntik hormon, dikandangkan dalam ruang sempit yang gelap, dan dipotong secara masinal tanpa kasih sayang.

Islam sangat mengecam praktik semacam itu. Prinsip ihsan (berbuat baik secara maksimal) harus diterapkan bahkan saat kita hendak menyembelih. 

Rasulullah SAW bersabda: ”Sesungguhnya Allah mewajibkan berlaku ihsan pada segala sesuatu... jika kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaklah kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan hewan sembelihannya.” (H.R. Muslim).

Ulama kontemporer seperti Syekh Hamza Yusuf sering mengkritik kualitas daging ”halal” di dunia Barat yang hanya halal secara label tetapi tidak thay-yib (baik/etis) secara proses peternakan. Jika hewan tersebut stres dan menderita selama hidupnya, esensi keberkahan daging itu hilang.

Oleh karena itu, daripada mendukung gerakan ”Go Vegan” yang mengharamkan daging, saya lebih mendorong umat Islam untuk mengampanyekan gerakan ”Halal and Tayyib Meat”. 

Kita harus memastikan hewan ternak dipelihara dengan cara organik, diberi ruang gerak, dan disembelih dengan asma Allah yang penuh kasih. 

Itulah jawaban Islam terhadap keprihatinan veganisme: kita tidak berhenti makan daging, tetapi kita memperbaiki cara kita memperlakukan hewan.

Kategori :