Veganisme dalam Timbangan Hukum Islam

Selasa 30-12-2025,08:05 WIB
Oleh: Shofiyullah Muzammil*

DALAM BEBERAPA TAHUN terakhir, narasi ”Go Vegan” tidak lagi hanya berkutat pada isu kesehatan, tetapi telah bergeser ke ranah etika global dan keberlanjutan lingkungan. Sebagai umat Islam, kita tidak boleh anti-gagasan baru. Namun, kita harus memiliki ”filter” ideologis agar tidak terjebak pada ekstremisme pemikiran. 

Islam adalah agama wasathiyah (moderat), yang berdiri di tengah-tengah antara eksploitasi alam yang membabi buta dan asketisme (penghitaman diri) yang mengharamkan karunia Tuhan.

Mari kita bedah secara elaboratif melalui lima pilar pemikiran berikut.

BACA JUGA:Ketahui 5 Manfaat Gaya Hidup Vegan untuk Kesehatan Mental

BACA JUGA:5 Inspirasi Furnitur Estetik untuk Hunian Vegan-Friendly

Pertama, Islam: syariat yang tidak memberatkan dan prinsip kebebasan berpilihan.

Pilar pertama yang harus kita pahami adalah hukum Islam (tasyri’) diturunkan untuk kemaslahatan manusia, bukan untuk menyusahkan. Dalam ushul fiqh, kita mengenal kaidah ”al-ashlu fil asy-ya’ al-ibahah” –asal mula segala sesuatu (yang bermanfaat) adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya.

Dalam konteks mengonsumsi daging, Al-Qur’an secara eksplisit menyebutkan kehalalannya dalam berbagai ayat. Misalnya, dalam Q.S. Al-An’am:142 yang menggambarkan hewan ternak sebagai rezeki dari Allah. 

Namun, kita harus membedakan antara ”kehalalan daging” dan ”kewajiban makan daging”. Islam menghalalkan daging, tetapi tidak mewajibkan muslim untuk memakannya setiap hari.

BACA JUGA:Gaya Hidup Vegan Tak Harus Mahal, Ada 5 Bahan Nabati Lokal yang Lezat dan Bergizi

BACA JUGA:5 Jenis Pola Makan Vegan yang Wajib Kamu Tahu

Para ulama klasik, seperti Imam Syafii, menekankan bahwa pilihan makanan masuk ranah mubah yang dipengaruhi ’urf (adat) dan kondisi fisik seseorang. Jika seseorang memilih menjadi vegan karena merasa tubuhnya lebih sehat tanpa daging atau karena alasan ekonomi, hal itu sama sekali tidak berdosa. 

Namun, masalah muncul ketika pilihan personal itu ”ditingkatkan” menjadi dogma agama yang mengeklaim bahwa ”makan daging adalah tindakan tidak bermoral”.

Di sinilah kita perlu merujuk pada pemikiran Imam Syatibi dalam Al-Muwafaqat. Beliau menjelaskan bahwa mengubah hukum yang mubah menjadi haram tanpa otoritas wahyu adalah bentuk pelanggaran terhadap hak prerogatif Allah sebagai al-syari’ (pembuat hukum). 

BACA JUGA:Cantik tanpa Eksploitasi: Mengenal Vegan Beauty dan Cara Memilih Produknya

Kategori :