Warga Telanjur Nyaman Pakai Masker

Warga Telanjur Nyaman Pakai Masker

Julian Romadhon - Pekerja mengemas masker di pabrik alat kesehatan PT Kasa Husada Wira Jawa Timur, Surabaya.-Julian Romadhon-Harian Disway-

SURABAYA, DISWAY.ID - Hampir sepekan Presiden Joko Widodo sudah mengumumkan bahwa Indonesia memasuki masa transisi menuju endemi. Boleh lepas masker di luar ruangan. Namun, banyak pula yang ogah mencopot masker karena sudah terbiasa. 

 

Dosen Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Airlangga Kukuh Yudha Karnanta melihat fenomena itu pada anak didiknya. Banyak yang masih pakai masker meski di luar ruangan. "Awalnya protes karena tidak terbiasa. Sekarang keterusan," kata lulusan S-2 Kajian Budaya dan Media Universitas Gadjah Mada (UGM) itu. 

 

Kukuh menyebut teori Sigmund Freud: Scopophilia. Salah satu hasrat pokok yang ada dalam diri manusia adalah dorongan untuk melihat. 

 

Hasrat itulah yang selalu mendorong orang mengejar kenikmatan  dalam aktivitas melihat. Nah, salah satu aspek dari scopophilia adalah voyeurism. Yakni hasrat untuk melihat sesuatu hal secara tersembunyi atau mengintip secara rahasia apa yang dilakukan seseorang.

 

Orang-orang dengan masker bisa menutupi identitasnya. Mereka bisa leluasa mengamati atau mengintip objek-objek di sekitarnya. Saat itulah voyeurism terjadi. Mereka nyaman dengan status anonim itu. 

 

Kemungkinan lainnya adalah munculnya rasa percaya diri ketika memakai masker. "Ada yang merasa lebih PD atau merasa lebih cantik. Jerawat tertutupi, kekurangan tidak terlihat," katanya.

 

Meski banyak yang tak mau melepas masker, Kukuh yakin manusia bakal kembali ke sifat naturalnya: bernapas tanpa masker. Namun prosesnya bakal membutuhkan waktu untuk pembiasaan.

 

Selain memakai masker, ada banyak perubahan perilaku selama pandemi. Salah satunya pemanfaatan media digital dalam pendidikan hingga pekerjaan. 

 

Kebiasaan yang dulunya dianggap tak mungkin terjadi, kini sudah jadi hal biasa. Menurutnya, kebiasaan itu tidak bisa ditinggalkan begitu saja. "Mahasiswa dan dosen banyak yang suka daring. Kita bisa efisien dan lebih produktif. Sayang jika kebiasaan itu ditinggalkan begitu saja," kata peraih penghargaan Piala Citra FFI itu.

Pengunjung Balai Pemuda yang masih nyaman mengenakan masker.
Safitri-Harian Disway

 

Staf Ahli Kementerian Kesehatan dr Andani Eka Putra mengatakan, kebijakan lepas masker diambil karena situasi sangat terkendali. Orang-orang yang lebih nyaman pakai masker bebas menentukan pilihannya. "Silakan. Tetap bagus pakai masker," jelasnya. 

 

Masker bisa mencegah berbagai macam penyakit. Termasuk influenza.

 

Kelonggaran masker juga menurunkan bisnis masker. Pabrik hingga UMKM merasakan dampaknya. "Saya punya teman yang bisnis APD (alat pelindung diri). Selama pandemi keuntungannya Rp 50 miliar. Sudah cukup, lah," lanjut dokter asal Padang itu. 

 

Kelonggaran dari pemerintah menjadi simbol bahwa situasi pandemi sudah mereda. Pelonggaran prokes itu juga berimbas pada kemauan warga untuk mendapat suntikan vaksin. Lalu, bagaimana dengan nasib vaksin Merah Putih?

 

“Itu bergantung pada Kementerian Kesehatan. Ada wacana akan digunakan untuk booster,” ujar peneliti utama vaksin Merah Putih (VMP) dr Gatot Soegiarto saat dikonfirmasi, kemarin. Atau juga bisa disumbangkan ke negara-negara sahabat. Misalnya, ke negara-negara di Afrika yang cakupan vaksinnya masih rendah.

 

Namun, para peneliti juga menganggapnya sebagai tantangan yang berat. Sebab, tidak mudah mengembalikan kemauan masyarakat terhadap vaksin booster. Apalagi saat situasi dinyatakan mereda. 

 

Tentu itu butuh usaha ekstra. Misalnya, dengan melibatkan organisasi profesional. Meminta bantuan mereka untuk merekrut subjek penelitian. Seperti yang dilakukan oleh banyak negara maju. 

 

Yang jelas, para peneliti bakal terus berjuang untuk manfaat maksimal pada produk anak bangsa tersebut. Tidak ingin capaian besar itu hanya berhenti pada tahap uji klinis. Tanpa ada pemanfaatan masal. Jika itu terjadi maka sama dengan menyia-nyiakan kerja keras para peneliti dan pengorbanan dari para partisipan. 

 

Gatot menegaskan bahwa pembuatan VMP bukan untuk pencitraan. Para dokter dan peneliti punya tujuan yang jauh dari itu. Yakni menyentuh akar permasalahan kesehatan di masyarakat. Di antaranya, soal tidak tersedianya vaksin, suplai vaksin yang tidak merata dan terlambat, serta keraguan terhadap kehalalan produk vaksin asing. 

 

“Kami juga ingin melepaskan ketergantungan vaksin dari produsen luar yang selama ini terjadi,” tegasnya. Meski saat ini VMP masih menunggu laporan hasil evaluasi uji klinis fase 2 dari BPOM. Jika dinyatakan lulus maka akan berlanjut pada fase 3. Rencananya bakal digelar pada Juni. (Salman Muhiddin/Mohamad Nur Khotib)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: