Edy Sukotjo Tergerak Melihat Diskriminasi

Edy Sukotjo Tergerak Melihat Diskriminasi

Setahun terakhir ini, Edy Sukotjo sudah menghubungkan ribuan pasien Covid-19 dengan pendonor plasma konvalesen. Ketua Komunitas Ikatan Alumni Penyintas Covid-19 Jatim (KIAPCJ) itu sempat kewalahan karena permintaan plasma datang dari berbagai daerah. Nomor teleponnya telanjur menyebar ke seluruh Indonesia. 

ADA jalan sempit di barat Jembatan Joyoboyo, Surabaya. Itulah akses utama menuju permukiman padat penduduk di tepi Kali Suroboyo. Rumah Edy Sukotjo ada di sana. Yakni, 500 meter dari jembatan yang dibangun di era Wali Kota Tri Rismaharini itu.

Edy menelepon kami, Minggu (15/8). Ia sudah menunggu di pertigaan jalan. Kami diminta terus masuk di jalur tepi sungai itu. Dari kejauhan Edy melambaikan tangan. Ternyata rumahnya masih masuk lagi ke gang yang lebih sempit. Yang cuma bisa dilewati sepeda motor. “Ini rumah mertua saya. Kalau rumah saya yang itu,” ujarnya lalu menunjuk rumah hijau yang berjarak dua rumah saja. 

Kami diterima di ruang tamu rumah mertuanya karena lebih luas dan sepi. Ternyata istri Edy adalah tetangganya sendiri. Sama-sama dari Pulo Wonokromo. Kisah percintaan mereka mengingatkan kita dengan lagu Ayu Ting Ting: Pacar 5 Langkah.

Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Dinas Kesehatan Pemprov Jatim itu betah tinggal di sana. Pemandangannya begitu asri. Warga menghias kawasan tepi sungai itu dengan berbagai tanaman dalam pot. Kami pun akhirnya memutuskan untuk ngobrol di tepi sungai saja.

Edy menunjuk ke arah utara. Ada Terminal Intermoda Joyoboyo (TIJ) di sana. Namun, yang ia maksud bukan terminal sepi itu. Di balik TIJ terdapat permukiman padat penduduk. Ada kisah dari perkampungan itu yang menggerakkan hatinya untuk mengabdikan diri membantu penanganan Covid-19. “Bu Nur iku sakno (itu kasihan, Red),” ujar pria dua anak itu.

Yang ingin diceritakan Edy adalah Nur Aiyus, rekannya yang kini juga jadi relawan KIAPCJ. Nur bernasib sama dengan Edy. Mereka sama-sama tertular Covid-19 di awal-awal pandemi. Namun, nasib keduanya berbeda.

Nur ditolak oleh lingkungannya. Sedangkan Edy tidak. Ketika Nur kembali dari Rumah Sakit Lapangan Indrapura (RSLI) tetangganya panik. Kampung jadi sepi ketika melihat Nur. “Sampai anak beliau mau ngaji itu tidak bisa. Orang takut,” katanya.

Di tengah wabah asing itu, muncul satu fenomena sosial yang berpotensi memperparah situasi: stigma sosial. Pasien dan penyintas didiskriminasi. Mereka diperlakukan berbeda. Bahkan ada yang diusir dari tempat tinggalnya.

Masyarakat panik karena pengetahuan tentang Covid-19 sangat minim kala itu. Stigmatisasi yang kian membesar membuat sebagian orang menyembunyikan sakitnya supaya tidak didiskriminasi.

Edy sempat menyembunyikan statusnya sebagai pasien Covid-19. Tak banyak tetangga yang tahu bahwa ia sudah jadi penyintas. Ia memutuskan begitu supaya tidak gaduh. “Waktu itu tanpa gejala. Ada swab rutin di kantor 27 Juni. Tanggal 29 saya dinyatakan positif,” lanjutnya.

Setelah kasus Nur, Edy juga mendapati kasus serupa dari alumni RSLI lainnya. Edy tak hafal nama lengkap orang itu. Ia memanggilnya Pak Satya. Orang Jawa Barat yang kos di Rungkut.

Satya melaporkan kasusnya ke grup penyintas RSLI. Bahwa lingkungan menolaknya. Warga setempat melayangkan somasi agar Satya segera meninggalkan kos. Ia hanya diberi waktu sehari untuk mencari tempat tinggal lain. 

Ketua Relawan Pendamping Pasien Covid-19 RSLI Radian Jadid sampai turun langsung ke Rungkut. Ia meyakinkan warga bahwa Satya sudah sembuh. Tapi warga tetap takut. “Akhirnya Pak Satya disemprot disinfektan di sekujur tubuhnya. Kalau ingat itu, saya jadi kasihan,” lanjut Alumnus Akademi Gizi Surabaya itu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: