Trio Baret Merah
MEREKA bertiga satu angkatan. Sama-sama hebat. Sama-sama baret merah. Sama-sama pernah menyandang komandan Kopassus, pasukan elite TNI-AD. Tak hanya dikagumi di negeri sendiri, tapi juga internasional.
Sabtu (21/8) seorang di antara mereka, yakni Letjen (purn) Kuntara, berpulang. Ia menyusul sahabatnya, Jenderal (purn) Wismoyo Arismunandar, yang wafat awal tahun ini, tepatnya 21 Januari 2021. Satunya lagi, Letjen (purn) Sintong Panjaitan masih terlihat bugar saat pemakaman teman-temannya.
Saya memberikan istilah trio baret merah. Sebab, mereka bertiga teman satu angkatan di Akmil (Akademi Militer). Angkatan 1963. Dan, hebatnya, ketiganya mencapai posisi puncak di jajaran Pasukan Para Komando itu. Teman satu kelas tersebut, secara bergiliran, menjadi komandan pasukan elite tersebut. Danjen Kopassus yang dulu bernama komandan Kopassandha.
Awalnya, Wismoyo (1983–1985) menggantikan Yogie Suardi Memet. Setelah Wismoyo, giliran Sintong Panjaitan (1985–1987). Sintong diganti Kuntara (1987–1992).
Di eranya, tiga jenderal baret merah itu sangat disegani. Mereka dikenal publik karena reputasinya. Mereka sangat populer. Angkatan 1963 Akmil itu juga dikenal sebagai generasi emas. Termasuk juga di angkatan itu, Mayor Jenderal (purn) Basofi Soedirman, mantan gubernur Jawa Timur.
Wismoyo mencapai jabatan puncak di Angkatan Darat, sebagai KSAD (Kepala Staf Angkatan Darat). Setelah pensiun, jenderal kelahiran Semarang tersebut menjadi panglima olahraga: ketua umum KONI.
Kalau Pak Wis –begitu ia populer dipanggil– tiba di KONI, para wartawan langsung serentak memindahkan arloji ke tangan kanan. Padahal, umumnya banyak yang memakai jam di tangan kiri. Suatu saat ada teman wartawan dari Jawa Barat yang lupa memindahkannya. Langsung kena ”razia” jam tangan itu. ”Jam itu harus di tangan kanan,” kata Wismoyo.
Saya dan teman-teman sesama wartawan hanya balas, ”Siap, Pak,” sambil senyum-senyum agar suasana cair. ”Ya, gitu dong,” kata jenderal yang juga pernah menjadi Pangdam Diponegoro itu. Ada yang sempat bertanya, ”Mengapa harus di tangan kanan, Jenderal?”
Saya ingat jawabannya yang singkat, ”Ya baik.” Katanya sambil mengepal tangan kanan menuju ruang kerjanya.
Tapi, cerita lain: Wismoyo memakai jam di tangan kanan karena dulu banyak jam tangan yang pakai pegas. Istilahnya jam otomatis. Agar tetap jalan, jam selalu digerak-gerakkan. Tangan pun harus sering digoyang. Nah, karena tangan kanan yang aktif, jam pun diletakkan di bagian kanan. Namun, sekarang hampir semua teknologi menggunakan baterai alias jam digital.
Para anak buah Wismoyo saat berdinas aktif di militer pun selalu menggunakan arloji di tangan kanan. Saat rapat Mabes AD di Gambir, jamnya pun di tangan kanan, untuk menghormati Jenderal Wismoyo. Namun, saat rapat di Mabes ABRI (TNI) di Cilangkap, jam pun berpindah ke tangan kiri. Panglima ABRI (TNI) waktu itu, Jenderal Feisal Tanjung, memakai jam di tangan kiri.
Wartawan senior Selamat Ginting suatu saat bertemu Agum Gumelar yang masih brigjen. Di acara pendidikan Lemhannas. Karena Agum tak memakai jam, Selamat iseng bertanya, ”Pak Agum mana jam tangannya?” ”Ini saya kantongi di saku celana,” jawab Agum. Perwira tinggi lain pun menimpali, tidak ingin dicap sebagai kelompok jenderal A atau jenderal B hanya karena gara-gara penempatan jam tangan.
Saat bertemu dengan para komandan pasukan di lapangan pun, Wismoyo membagi-bagikan jam tangan. Tentu harapannya, para prajurit itu memakai di tangan kanan.
Wismoyo, penampilannya tegas, dengan alis tebal. Bahkan, terkesan sangar. Tapi, hatinya sangat baik. Menjelang SEA Games Chiang Mai 1995, sejumlah media tidak memberangkatkan wartawan. Masalah itu pun diceritakan ke Wismoyo. Ketika mengetahui jumlahnya hingga 30 wartawan, Wismoyo pun sempat kaget. Namun, karena para wartawan sudah dianggap satu keluarga, jenderal bintang empat itu pun langsung mencarter pesawat. Para wartawan pun senang ikut berangkat ke Chiang Mai.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: