Lima Tahun Robohnya Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo (5)

Lima Tahun Robohnya Rumah Radio Pemberontakan Bung Tomo (5)

Ktut mengatakan, rakyat indonesia tidak akan menerima tawaran sekutu. Meskipun bom dijatuhkan, membunuh setiap perempuan dan anak-anak. Seperti yang sudah terjadi di Hiroshima dan Nagasaki. “Jika kalian tetap melakukannya, itu hanya akan menambah lembaran hitam dalam sejarah Inggris,” ujarnyi.

Sekutu sudah mendengar jawaban itu. Rupanya Arek-arek Suroboyo tidak takut dengan ultimatum tersebut.  Pasukan semakin merangsek ke arah selatan. Perang 10 November pun pecah. Surabaya dihujani bom dan mortar selama tiga hari tanpa henti.


SUASANA JALAN Tunjungan setelah perang November 1945 yang dipotret oleh Howard Dick.

 

Ktut terjebak di markas BPRI di Jalan Mawar Nomor 10. Sementara Bung Tomo sudah lama mencari persembunyian lain. Ia sempat pindah ke Wonocolo, Bangil, Pacet, lalu ke Malang.

Perempuan bernama asli Muriel Stuart Walker itu bersama dua orang pria di rumah itu. Satu orang keturunan Arab dan penyiar berkebangsaan India.

Jalan Mawar ikut dibombardir. Ktut bersembunyi di ruang siaran bersama pria Arab itu. Sementara penyiar berkebangsaan India tewas tersambar pecahan mortar saat berlari mencari perlindungan ke arah kamar mandi. 

Ajaibnya rumah milik Pak Amin itu utuh. Sehingga pemkot sempat menetapkannya sebagai cagar budaya pada 1998. Alhi waris Amin tidak kuat membayar beban perawatan hingga pajak rumah di tengah kota itu. 

Semua bangunan cagar budaya dapat diskon pajak bumi dan bangunan (PBB) sebesar 50 persen. Begitulah bunyi ketentuan yang dibuat pemkot. Namun dalam kenyataannya keluarga Amin tidak mendapatkan keringanan itu.

PBB mereka mencapai Rp 20 juta per tahun. Sementara iuran listrik dan air mencapai Rp 6 juta per bulan. Karena sudah tidak sanggup mengurus bangunan itu, ahli waris Amin: Narindrani dan Tjintariani menjualnya ke PT Jayanata yang gedung plazanya hanya terpaut satu rumah.

PT Jayanata yang membeli eks rumah radio pemberontakan Bung Tomo itu lalu merobohkan semua bangunan. Setelah diprotes banyak pihak, mereka menjanjikan akan membangun ulang rumah radio pemberontakan itu. Masalahnya, bangunan baru yang telah berdiri itu berbeda tidak sama dengan gedung yang sudah dirobohkan. Polemiknya masih bergulir sampai sekarang. Sampai pagar hijau yang menutupi persil itu belum dibongkar.

Pemerhati Sejarah Nanang Purwono menilai kasus itu hanyalah fenomena gunung es. Ada ratusan bangunan cagar budaya bernasib sama. “Dan sejak lima tahun rumah radio itu roboh, belum ada perubahan signifikan,” kata penulis buku Benteng-Benteng Soerabaia itu.

Pemilik bangunan cagar budaya cuma dapat diskon PBB 50 persen. Namun diskon tidak bisa langsung didapatkan. Harus diajukan setiap tahun.

Nanang merasa kebijakan pro cagar budaya tidak cukup dengan memberikan keringanan PBB itu. Pemkot perlu memikirkan anggaran perawatan secara berkala untuk pemilik cagar budaya. “Karena kalau sampai hilang, kerugian kita tidak ternilai harganya. Sejarah tidak bisa dibeli dengan uang,” ujarnya. (Salman Muhiddin)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: