Berkarya Terinspirasi Idola

Berkarya Terinspirasi Idola

Melukis realisme dengan detail proporsi, anatomi, beserta draperi pakaian tak segampang tampaknya. Apalagi jika pewarnaannya menggunakan media cat air yang dikenal susah. Namun Untoro Tanu Merto punya trik mencapainya.

Dalam The Red Faces, dua orang tua terlihat bersenda gurau. Tawanya lebar. Meski kulit telah penuh kerutan dan rambut di sela telinga tampak sedikit memutih, semangat itu tergambar dengan jelas. Dua orang itu wajahnya bercat merah.

Salah satu orang memegang sarung merahnya. Kemudian menunduk untuk melihat bagian bawah. Seperti terkesima dengan pakaian yang dikenakannya atau takut kesrimpet, entahlah. Penikmat bebas menilainya.

Itulah cara Toro -panggilannya- memberi ruang imajinasi dalam lukisan realisnya. ”Biasanya, realisme cenderung fotografis. Tapi karya saya menyuguhkan gerak, ekspresi, dan segala hal untuk dimaknai oleh orang yang melihatnya,” ungkapnya.

The Red Faces dilukis Toro dari pengamatannya ketika berada di Solo saat mengikuti prosesi ritual Mauludan yang diselenggarakan Keraton Surakarta. Figur itu dikenal sebagai prajurit Canthang Balung. Yakni prajurit pengiring prosesi yang biasa diperankan oleh dua orang sepuh.

Gesture dan ekspresi tersebut menciptakan momen gerak dalam lukisannya. Latar yang digunakan pun dibuat lekat dengan suasana impresi cahaya. Sehingga membias dan menimbulkan penafsiran tentang kondisi samar background itu.

Segala pencapaian itu didapatnya sejak Untoro berkecimpung total dalam dunia seni rupa. Tepatnya selepas menyelesaikan studinya di jurusan arsitektur, Universitas Langlangbuana (Unla), Bandung.

”Saat itu tahun 2002. Pasca lulus dan bekerja di bidang ilustrasi arsitektural dengan media cat air, saya mengunjungi seniman-seniman di Bandung. Belajar untuk memperdalam kemampuan seni rupa saya,” ungkap pria 41 tahun itu.

Ada pelukis asal Bandung yang ia panggil dengan nama Kang Rosid, meminjaminya buku. Berisi kumpulan lukisan serta biografi perjalanan estetika Chang Fee Ming. Ia seorang pelukis realis asal Malaysia.

Toro begitu tertarik dengan karya pelukis cat air ternama tersebut. Media yang diakrabinya sejak remaja hingga terjun ke dunia seni rupa profesional. Saat kuliah, cat air semula hanya menjadi media ilustrasi untuk menjelaskan desain-desain dan tugas-tugasnya.

Ada satu hal yang diamati Toro sebagai kelebihan lukisan Chang Fee Ming. ”Ia banyak mengekspos satu sisi saja. Ada satu lukisan tentang pasar dan seorang pedagang lombok. Yang menjadi penekanan adalah lomboknya. Figur manusia tak dicitrakan utuh,” ujarnya.

Menurut Toro, karya Chang Fee Ming yang cenderung memberi detail pada sudut atau objek yang tak terpikirkan memberi opsi bagi penikmatnya. Untuk merenungkan makna pada objek yang ditampilkan sebagai center of interest.

Berkaca dari idolanya itu, Toro menemukan kesimpulan bahwa realisme jika diolah sedemikian rupa mampu menggugah penikmatnya. Ia tersadar bahwa cat air tidak hanya sekadar ilustrasi arsitektural saja. Tapi bisa lebih dari itu.

Firts Step (Untoro Tanu Merto untuk Harian Disway)

Terinspirasi idolanya, Toro melakukan hal yang sama. ”Terus terang, karya-karya awal cat air saya sangat dipengaruhi oleh karya-karya cat air Chang Fee Ming. Dalam First Step misalnya saya memuat objek kaki sedang menapaki tangga. Biar penikmat yang memaknainya,” ungkap pria asli Solo tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: