Musik Mengantar Islam Meluas

Musik Mengantar Islam Meluas

Lewat musik, Enda Koboy Subang menunjukkan bahwa Islam adalah agama rahmatan lil alamin. Didakwahkan ke seluruh penjuru Nusantara melalui kesenian. Kali ini lewat lagu Wali. Apresiasinya terhadap para mulia penyebar agama.

Keberadaan wali tak terbatas pada kurun waktu tertentu. Wali selalu muncul di setiap zaman. Terlebih ketika banyak manusia tenggelam dalam perbuatan-perbuatan tercela. Sosok wali tetap ada. Bahkan ketika Islam telah menjadi mayoritas.

Enda, musisi dari Subang, menyebut Habib Luthfi, ulama kondang dari Pekalongan adalah sosok wali di masa kini. ”Beliau berdakwah dengan ramah, lembut, juga lewat seni budaya beliau mengenalkan Islam sebagai agama yang sejuk,” ujarnya.

Apa yang dilakukan Habib Luthfi sama dengan yang dilakukan para wali zaman dahulu. Mereka menyebarkan Islam dengan cara damai. Tak memaksa serta menggunakan pendekatan kesenian.

Sebagai penghormatan terhadap para wali sekalikus dalam rangka misi mengenalkan Islam sebagai agama pembawa rahmat bagi semesta alam, Enda mementaskan karya musik berjudul Wali.

Kemunculannya berangkat atas keprihatinannya. Pada masa kini, masyarakat banyak dihebohkan dengan larangan-larangan bermain musik. Dengan alasan haram atau argumen tentang musik mendekatkan diri pada kemaksiatan. Endah lalu menyikapinya berbeda.

”Saya bukan ulama. Sebenarnya belum pantas memberikan pendapat. Tapi yang saya ketahui, Habib Luthfi pandai bermain musik. Para wali menciptakan tembang. Apa yang salah?,” ujarnya. Menurutnya, melalui musik justru membuat Islam semakin tersebar luas.

Bagi Endah, musik yang menyeru tentang dakwah, perdamaian, dan kemanusiaan akan mampu menyadarkan banyak orang. Seperti lagu Give Peace a Chance karya John Lennon. Lagu itu memancing unjuk rasa ribuan orang di AS, menentang invasi militer AS ke Vietnam pada dekade ’70an demi perdamaian. Atau lagu-lagu Ebiet G. Ade yang menggugah pendengar untuk bertoleransi dan menjaga lingkungan.

Dalam pentas lagu Wali, Enda merancang setting serta busananya sendiri. Ia memasang perlengkapan wayang golek sebagai latarnya. Ia mengenakan pakaian ala Tionghoa dengan bentuk kancing bergaris-garis horisontal. Tak lupa, kacamata bulat dan topi koboi. Topi memang sudah ciri khas Enda. Itulah mengapa ia disebut sebagai Enda Koboy Subang.

Tentu Enda punya alasan mengapa tampil demikian. ”Koboi bukan dalam arti seseorang yang urakan. Tapi lebih pada orang angon atau penggembala,” ungkap musisi 33 tahun itu. Terlebih, gaya musikal pementasan solonya cenderung country ballads.

Dalam penampilannya, Enda Koboy menunjukkan kepiawaiannya memainkan semua alat musik. Mulai kecapi, banjo, akordion, gitar, bass dan lain-lain. (Enda Koboy Subang untuk Harian Disway)

Berbeda ketika ia tampil dengan Debu, band musik sufistik kenamaan yang dikomandani oleh Kumayl Mustafa Daood. ”Penggembala berarti mampu menggembalakan diri atau mengendalikan nafsu,” ungkapnya.

Wayang golek mewakili budaya tanah kelahirannya. Sedangkan pakaian ala Tionghoa. Topi laken ala Barat melambangkan budaya luar. Lewat lagunya, Enda menunjukkan bahwa Islam merupakan agama yang mampu merangkul keragaman budaya tersebut.

”Fitrah Islam mengayomi. Saya mencoba hadir di wilayah seni-budaya di Nusantara. Mewakili kaum muda yang mau mengenalkan kembali ajaran cinta kasih para wali,” ungkap penggemar The Beatles tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: