Review Film Shang-Chi: Amusement Park yang Menyenangkan
Taman Bermain Raksasa
Kata sutradara Martin Scorcese, sebagus apa pun film-film Marvel, mereka bukan karya sinema. Melainkan amusement park. Taman bermain. Hanya mengandalkan efek visual nan heboh, adegan berantem sana-sini, minim emosi, apalagi pendalaman akting.
Soal cerita, jangan tanya. Sudah pasti simpel banget. Karena target pasarnya memang remaja dan anak-anak. Film Marvel tidak akan sedalam dan sefilosofis trilogi The Dark Knight. Meski penulisannya banyak yang melebihi ekspektasi. Itu menurut Scorcese, lho.
Namun, ketika menonton Shang-Chi and the Legends of the Ten Rings, mau tak mau kita sepakat dengan Scorcese. Film itu benar-benar amusement park. Taman bermain raksasa yang penuh wahana.
Adegan laga antara Shang-Chi di bus di jalanan San Francisco. Pertempuran naga gaib versus iblis kuno pemakan jiwa manusia. Hingga peperangan warga Ta Lo dengan anak buah si iblis. Semua terasa seperti roller coaster. Kencang, heboh, dan dibuat semegah mungkin. Namun sama sekali tidak menimbulkan gejolak emosi. Ceritanya juga sangat mudah ditebak. Minim kejutan seperti—let’s say—Thor: Ragnarok.
Untungnya, banyak wahana dalam amusement park itu yang enjoyable. Penonton pasti terbetot oleh penampilan Tony Leung. Memerankan ayah Shang-Chi, Wenwu, pesonanya terpancar setiap kali ia muncul di layar. Dingin, tenang, dan sangat berkharisma. Ia benar-benar cocok membawakan peran pimpinan organisasi yang mengubah sejarah dunia.
Bagaimana pun juga, Leung adalah heartthrob yang menguasai film-film Hongkong di era 90an hingga awal 2000. Filmografinya, antara lain Infernal Affairs, Hero, dan In The Mood for Love. Yang terakhir ini bahkan berbuah gelar Aktor Terbaik di Festival Film Cannes. Ini kali pertama Leung berperan dalam film superhero. Namun aura supervillain-nya sudah sangat terasa.
Yang bisa mengimbangi pesona Leung, mungkin, hanya Michelle Yeoh. Aktris senior Malaysia itu memerankan Ying Nan, bibi Shang-Chi. Menyaksikan perempuan anggun itu mengajari Shang-Chi kung-fu cukup asyik ditonton.
Konsistensi sutradara Dustin Daniel Cretton menulis dialog dengan bahasa Tionghoa patut diacungi jempol. Selain saat di AS dan Macau, hampir seluruh percakapan disampaikan dalam bahasa Tionghoa. Sehingga Shang-Chi terasa genuine. Cretton lebih memilih menambahkan subtitle daripada menyuruh aktor-aktor Asia berbahasa Inggris dengan aksen palsu.
Daripada Awkwafina, yang lebih mencuri perhatian di sini justru Meng’er Zhang. Si pemeran Xialing. Sebagai adik Shang-Chi yang mendapatkan perlakuan diskriminatif dari ayah sendiri, dia tumbuh menjadi gadis badass yang luar biasa keren. Perkembangan karakter dia juga cukup spesial. Konsisten, tapi tidak klise.
Keterkaitan dengan jagat MCU juga bakal menjadi servis seru buat fans setia. Penonton selalu heboh melihat karakter Marvel yang lain muncul di sebuah film. Di sini pun begitu. Kehadiran beberapa tokoh Avengers menjamin Shang-Chi bakal segera bergabung dalam universe yang lebih besar. So, betul kata Scorcese. Film Marvel adalah amusement park. Tapi setidaknya, wahana-wahananya sangat menyenangkan. (Retna Christa)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: