Manguyu-uyu Sebelum jadi Pandhita

Manguyu-uyu Sebelum jadi Pandhita

Satu tingkat di bawah resi adalah pandhita. Setiap pandhita merupakan pemimpin perkumpulan Budda Jawi Wisnu di setiap wilayah. ”Di bawah pandhita ada Jejanggan yang membantu segala urusannya,” ujarnya.

Di bawah Jejanggan terdapat posisi Manguyu-uyu. Seseorang yang dipercaya memikul jabatan tersebut harus memiliki kemampuan berorganisasi. Sebab, Manguyu-uyu menjadi pengawas dan penentu kebijakan dari tiga jabatan di bawahnya. Itu sebelum dikabarkan kepada pandhita dan resi.

Tiga jabatan di bawah Manguyu-uyu adalah Purbacaraka. Ia bertugas sebagai juru tulis. Disusul Pangrukti yang bertugas menyelenggarakan dan mengujubkan upacara besar atau mengurus kematian. Jabatan ketiga adalah Pengawat-awat. Seseorang yang mengawasi jalannya sistem organisasi dari keseluruhan pengurus.

Pada 2 Agustus 1989, Legino dilantik sebagai Manguyu-uyu. Kepercayaan besar itu diperolehnya dari Sang Resi. Bukan Manguyu-uyu yang bertugas di Surabaya. Melainkan di pusat, di Madiun. Di bawah struktur yang dipimpin langsung oleh Resi Kusumodewo.

Tugasnya melaksanakan upacara sumpah pemeluk baru, menyelenggarakan upacara pernikahan, dan mengurus kematian. Sejak itu, tepatnya 1990, Legino kerap menikahkan pasangan suami-istri yang beragama Budda Jawi Wisnu. Salah satunya pasangan Marni dan Sadiyo, pada 2012.

Keduanya transmigran dari Banyuwangi, Jawa Timur. ”Mereka pasangan yang pernah saya nikahkan dengan domisili terjauh. Di Asahan, Sumatera Utara. Bener-bener terasa sangat jauh lokasinya. Sepanjang perjalanan, yang saya ingat cuma melihat kebun sawit,” kenangnya, lantas tertawa.

Merawat beragam burung kesayangannya adalah salah satu keseharian Legino Marto Wiyono jika sedang di rumahnya di Jalan Bratang Gede III-i Surabaya. (Rizal Hanafi/Harian Disway)

Sebagai Manguyu-uyu, Legino juga memperbaharui akta pernikahannya tahun 1967 dengan Rumani. Tata laksana pernikahan itu dilakukan kembali pada 27 Februari 1996. Dokumennya telah lengkap dan telah dicatatkan pada KUA. Saat itu Budda Jawi Wisnu belum diakui negara sebagai agama atau aliran kepercayaan.

”Yang tertera dalam kolom agama di KTP kami memang Buddha. Tapi dulu kami menikah secara adat Budda Jawi Wisnu. Sayang dokumennya tak tahu rimbanya. Kira-kira ikut hilang atau dilenyapkan karena ketakutan pasca-1965 oleh pengurus Budda Jawi Wisnu cabang Surabaya ketika itu,” paparnya.

Selain dirinya, empat dari delapan putra-putri Legino juga dinikahkannya secara Budda Jawi Wisnu. Salah satunya adalah Tri Nurtiasih yang menikah di Madiun dan dicatatkan oleh KUA setempat pada 2001.

Empat anak lainnya tidak karena bukan pemeluk Budda Jawi Wisnu. Tapi memilih mengikuti agama suami/istri mereka masing-masing. Legino tak pernah mempermasalahkan itu. Baginya, soal kepercayaan dikembalikan pada setiap pribadi.

”Cuma satu pesan saya. Jangan karen mengikuti kepercayaan baru, lantas menjelekkan kepercayaan lamanya. Bersyukur empat anak saya yang lain tidak begitu. Mereka tetap berbakti pada saya dan ibunya,” ujarnya.

Setidaknya hal itu tampak setiap kali mengadakan upacara atau peribadatan, semua anak Legino pasti hadir dan membantu. Entah memasak, menyiapkan hidangan dan segala perantinya. Hidup dan berbaur dalam keberagaman justru memunculkan warna-warni keindahan.

Setelah Resi Kusumodewo meninggal pada 1992, Budda Jawi Wisnu mengalami kekosongan pemimpin pusat. Meskipun para pandhita tetap memimpin di wilayahnya masing-masing. Dalam perkembangannya, pemeluk terbesar yang terstruktur serta dapat diidentifikasi akhirnya beralih ke Surabaya.

Para siswa Budda Jawi Wisnu pernah melakukan beberapa kali pertemuan untuk mencari sosok pemimpin pusat menggantikan Resi Kusumodewo. Dan, nama Legino dipertimbangkan sebagai kandidat kuat. (Guruh Dimas/bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: