Raden Panji menjadi Penengah Perang Dewa

Raden Panji menjadi Penengah Perang Dewa

Ketika unsur negatif menyelubungi diri, bahkan negeri, budaya Jawa punya ritual khusus untuk menolak bala dan menyingkirkan energi tersebut. Namanya ruwatan. Berbeda dengan ruwatan pada umumnya yang menggunakan wayang kulit, ruwatan di Malang menggunakan wayang topeng Malangan.

RUMPUT hijau masih basah setelah hujan. Hawa dingin sirna perlahan oleh hangatnya kebersamaan. Di tanah lapang yang luas, di sebelah papan yang dipergunakan sebagai panggung pementasan, beberapa lelaki memasang perangkat gamelan. Anak-anak muda dengan busana Jawa sesekali memukul-mukul tiap bagian dari gamelan tersebut untuk memastikan kejernihan serta kestabilan suaranya.

Beberapa perempuan datang, masing-masing membawa makanan kemudian meletakkannya di atas papan panggung tersebut. Sesaji ruwatan. Macam-macam jenisnya. Mulai dari tumpeng, bubur sengkala, bubur panca warna dan sebagainya. “Acara ini digagas oleh komunitas Malang Dance. Ruwatan desa, ruwat negeri. Mengusir hawa negatif, menyelaraskan diri dengan alam semesta,” ujar Ki Tetuko Yongki Irawan, sesepuh budayawan Kota Malang yang diundang di sana.

Acara ruwatan itu diselenggarakan pada 25 Oktober. Pemimpin ritual ruwatan tersebut adalah Ki Sholeh Adi Pramono. “Jika ruwatan biasa dilakukan dengan menggunakan wayang kulit, ruwatan ala Kota Malang berbeda. Menggunakan wayang orang yang aktornya memakai topeng khas Malang,” ujarnya. Alur ceritanya juga hampir sama. Yakni tentang Batara Kala, Dewa Waktu yang hendak mencelakai manusia namun dicegah oleh Batara Guru.

Dalam ruwatan ala Malang, terdapat adegan perang antara Batara Guru dan Batara Kala, kemudian dipisah oleh Raden Panji dan istrinya, Dewi Sekartaji. Semua kegiatan tersebut berlangsung di Latar Seni Winarto Ekram, Dusun Gobet, Pendem, Karangploso, Malang. Lokasinya memang berada di alam terbuka lereng gunung yang asri. 

Para pemain gamelan berasal dari komunitas gamelan yang dibentuk oleh Ki Sholeh. Sedangkan para pemainnya adalah para mahasiswa yang berasal dari berbagai universitas di Malang.

Dua aktor yang mengenakan pakaian adat Jawa serta bertopeng, telah bersiap, saling berhadapan di sisi kanan dan kiri terpal. Seorang aktor mengenakan topeng merah, melambangkan tokoh Batara Kala. Sedangkan seorang lagi mengenakan topeng hijau, perlambang Batara Guru.

Duduk dengan asap dupa yang mengepul, Ki Sholeh mulai menembangkan syair pembuka pertunjukan. Dalam bahasa Jawa ia menyebut bahwa setan, iblis, banaspati sedang menari-nari menyambut kedatangan Batara Kala yang hendak memangsa manusia.

Tokoh Batara Kala masuk ke panggung, menari-nari sejenak, kemudian langkahnya dihadang oleh penari topeng Batara Guru. Alunan gamelan berubah rancak. Keduanya bertempur melalui gerak tari.

Dua aktor saling memegang tangan, mengangkat satu kaki kemudian menggelengkan kepala. Tampaknya keduanya sama-sama hebat. Sang dalang berbicara, mendialogkan aktor Batara Guru. Ia terus memperingatkan agar Batara Kala berhenti memangsa manusia. Batara Kala rupanya enggan dinasihati. Kemudian keduanya bertempur kembali.

Tak lama, muncullah dua tokoh laki-laki dan perempuan. Memerankan Raden Panji dan istrinya, Dewi Sekartaji. Raden Panji melerai pertempuran keduanya dan mencoba memberi jalan tengah. 

Batara Kala menyetujui bahwa ia hanya akan memangsa manusia yang terkena sial. Antara lain: anak yang dilahirkan seorang diri atau anak tunggal (onthang-anthing), anak laki-laki dan perempuan dan perempuan dalam satu keluarga (kendhono-kendhini), anak yang terlahir kembar, pandhawa lima atau lima anak laki-laki dalam keluarga, mancalaputri atau lima anak perempuan dalam keluarga, julungwangi atau anak yang lahir ketika matahari terbenam, pengayam-ayam atau anak yang lahir ketika fajar dan lain-lain.

Orang-orang yang terlahir seperti disebutkan di atas, merupakan sukerta. Artinya, terdapat energi negatif yang melekat dalam fisik maupun jiwanya. Namun mereka masih dapat selamat apabila keluarganya mengadakan upacara ruwatan dengan beraneka ragam sesaji. “Ruwat berasal dari kata angruwati. Artinya, melepas kesialan. Tak hanya manusia, desa, alam dan isinya ini juga perlu diruwat,” ungkap Ki Tetuko.

Seperti halnya siang itu, ruwatan dilakukan untuk menyirnakan hawa negatif dari Nusantara. “Jika tatanan sedang tidak baik, seperti terjadinya pagebluk atau wabah penyakit, maka harus diadakan ruwatan,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: