Di Kedaibilitas, Seni jadi Metode Terapi

Di Kedaibilitas, Seni jadi Metode Terapi

Senin siang (08/11), para penyandang disabilitas sudah kumpul di Laboratorium Kedaibilitas, Jalan Sampoerna No 7. Mereka menjalani aktivitas seperti biasanya. Ada yang bikin strap masker dan belajar desain. Tentu saja mereka tidak sendiri. Didampingi beberapa relawan. Termasuk pendiri laboratorium, Andi Fuad Rachmadi.

SILAKAN ditunggu sebentar, Mas. Pak Andi sedang keluar,” kata Gunawan Yudhi menyambut kami di depan pintu. Ia terlihat agak malu-malu. Pandangannya melengos ke kanan-kiri. Lalu, ngeloyor masuk ke ruang laboratorium lagi.

Di dalam sudah ada empat kawan Yudhi. Yaitu, Ridho, Ryan, Nanda, dan Ariki. Mereka sedang asyik bekerja. Terutama Ridho yang didampingi istri Andi, Dewi Kartika Sari. Sedang tekun memasukkan manik-manik ke seutas senar. 

Senar putih itu dipegang dengan tangan kirinya. Sementara, tangan kanannya memungut manik-manik di dalam kotak plastik di hadapannya. Lalu, satu per satu dan perlahan dimasukkan ke senar itu. Hingga penuh sepanjang 50 sentimeter.

Ya, lelaki 18 tahun itu sedang membuat produk andalan Kedaibilitas: strap masker. Dalam 4 jam, ia mampu menyelesaikan 5-6 buah strap masker. Karya Ridho itu terbilang laris selama masa pandemi. Bahkan, pernah diborong Rini Indriyani, istri Wali Kota Eri Cahyadi.

“Bu Rini pernah membeli 20 strap masker disini,” celetuk Dewi. Strap masker itu dibanderol Rp 13 ribu-Rp 17 ribu. Bergantung pada tingkat kerumitan. Juga bahan yang digunakan.

Sebelum agak mahir mengerjakan seni kriya itu, Ridho membutuhkan waktu seminggu untuk berlatih. Itu terhitung singkat. Sebab, Ridho adalah penyandang autis. Motoriknya terganggu. Sedangkan membuat strap masker semacam itu justru membutuhkan detail tinggi.

“Kami sengaja melatihnya di seni kriya. Karena bisa menjadi terapi juga untuk Ridho,” ungkap Andi yang baru saja tiba di rumah. Lalu, bergegas mengambil tempat untuk memberi brifing kepada mereka.

Menurutnya, pekerjaan dengan detail tinggi seperti itu bisa melatih fokus dan konsentrasi seorang penyandang autis. Tidak hanya itu. Motorik Ridho juga bisa berkembang. Sebab, yang dikerjakannya itu penuh dengan gerak halus tangan.

Di awal bergabung, Ridho cenderung temperamental. Emosinya sering tidak stabil. Bahkan, kerap berkelahi dengan teman-temannya. “Jadi, kalau lihat kondisinya sekarang, sudah jauh lebih baik daripada dulu,” kata Andi.

Andi menempatkan para muridnya itu pada bidang yang berbeda-beda. Sebab, keterbatasannya berbeda-beda. “Jadi, yang dikerjakan di sini macam-macam. Sesuai kebutuhan mereka. Tapi, secara keseluruhan kita kerja bareng-bareng,” jelasnya.

Seperti halnya Ryan yang duduk di bangku paling belakang ruang laboratorium mungil itu. Ryan adalah penyandang tunadaksa. Tangan kirinya kaku. Maka, yang dikerjakan bukan strap masker. Ryan dilatih desain grafis.

Lelaki 24 tahun itu didampingi relawan lain, yakni Viona Hazar Brilian. Ryan sedang asyik mendesain ID card. Yang ia jadikan contoh desain adalah fotonya sendiri. “Kalau Ryan ini masih baru belajar desain. Jadi pola desainnya masih belum terlalu rumit,” kata Viona.

Para fasilitator di Kedaibilitas berfoto bersama penyandang disabilitas.
(Foto: Rizal Hanafi-Harian Disway)

Meski baru terjun di dunia desain, namun karyanya membuahkan hasil. Salah satu karyanya pernah digandeng perusahaan masker. Juga diproduksi secara masal. Gambarnya cukup unik. Yakni kepalan tangan yang dilatari oleh percikan cahaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: