Menepis Adiksi Semu dalam Produktivitas Toksik dengan Prinsip Lagom

Menepis Adiksi Semu dalam Produktivitas Toksik dengan Prinsip Lagom

Perdebatan mengenai penyebab dari toxic productivity ini sebenarnya cukup beragam. Apabila mengutip dari Psychology Today, toxic productivity bisa disebabkan karena dorongan internal; berangkat dari semangat kerja keras yang tinggi yang tumbuh menjadi obsesi.

Dorongan eksternal juga bisa menjadi penyebab munculnya toxic productivity, terutama dorongan dari aktivitas yang terangkum di media sosial. Orang-orang akan lebih mudah terpacu ketika melihat pencapaian orang lain yang dilihat di media sosial.

Tekanan eksternal yang diterima dari pencapaian orang lain dan sikap suka membandingkan diri sehingga menyebabkan self-esteem berkurang, menjadi awal mulai dari dorongan lomba produktivitas muncul. Media sosial seringkali memicu seseorang untuk menjadikannya sebagai lahan unjuk bakat: siapa yang paling produktif dialah yang hebat.

Informasi seperti seorang remaja yang magang di enam tempat sekaligus, seorang mahasiswa yang berhasil kuliah di luar negeri sambil bekerja.

Atau seorang anak sekolah yang telah melakukan volunteer di berbagai tempat seringkali mendorong seseorang untuk mengejar ketertinggalan mereka. Berlomba untuk menunjukkan diri bahwa mereka juga mampu untuk menjadi produktif.

Sayang, tidak sedikit dari anak muda yang penuh ambisi ini akhirnya berakhir untuk mengglorifikasi rutinitas overwork-nya. Mereka mengorbankan nilai berharga yang ada pada diri mereka.

Melihat rumitnya penyebab dari toxic productivity memang memberikan tantangan sendiri untuk mengurangi kebiasaan tersebut. Tapi bukan berarti usaha untuk mengubah kebiasaan candu produktif tersebut sama sekali tidak bisa diatasi.

Dalam hal ini, kita bisa belajar dengan gaya hidup masyarakat Swedia yang berdasarkan Quartz dikenal sebagai kelompok masyarakat paling produktif dengan tingkat stres paling rendah di dunia.

Masyarakat Swedia memiliki cara untuk bisa menyeimbangkan bagaimana kesibukan yang dia miliki tidak lantas mengorbankan kesehatan diri maupun waktu untuk beristirahat. Kebiasaan tersebut datang dari prinsip Lagom.

Berdasarkan buku karya Linnea Dunne berjudul Lagom: The Swedish Art of Balanced Living, memiliki makna tidak berlebihan dan tidak terlalu sedikit; just balance.

Biasa diaplikasikan masyarakat Swedia di kehidupan mereka sehari-hari. Mungkin saat mendengar artinya, kita melihat bahwa prinsip ini terlihat mudah dan simpel. Namun pada dasarnya aplikasinya juga membutuhkan konsistensi yang tinggi.

Lagom mengajarkan kita untuk bisa merasa cukup dan membatasi hal-hal yang tidak seharusnya kita terima untuk masuk dalam kehidupan kita. Toxic productivity memaksa diri kita untuk mengambil beberapa aktivitas untuk membuat kita produktif.

Padahal secara tidak sadar kita turut mengambil kesibukan-kesibukan yang tidak terlalu perlu untuk kita ambil. Kita seringkali lupa untuk membedakan, hal apa yang sebenarnya kita butuh dan hal apa yang sekadar kita inginkan.

Dalam Lagom, apa yang kita inginkan belum tentu hal yang kita butuhkan. Pola pikir tersebut bisa menuntun kita untuk lebih bijak dalam memilah kegiatan sekaligus menyaring informasi yang kita terima di media sosial.

Layaknya mengurangi jumlah barang di dalam rumah seperti hidup minimalis ala Marie Kondo, Lagom membantu kita untuk bisa memilah hal produktif mana yang benar-benar bisa membuat kita merasa cukup, bukan hanya memberikan kepuasaan semu untuk kita semata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: