Kasus Pemerkosaan yang Diseriusi Pejabat Tinggi
Memang, pemerkosaan berdaya tarik cerita (atau berita media massa) tinggi. Semua media massa memuat perkara itu.
Orang bertanya-tanya, mengapa pria memerkosa? Apalagi terhadap anak, berjumlah banyak. Pemerkosaan berantai.
Prof Sherry Hamby, dalam bukunya, Battered Women’s Protective Strategies: Stronger Than You Know (terbitan 2013) mengulas minat pelaku. Dikatakan:
"Pria memerkosa perempuan (termasuk anak perempuan) bukan bertujuan kepuasan seks, atau minat seks. Melainkan, soal kepuasan mendominasi korban."
Hamby adalah profesor riset psikologi di University of the South, Amerika Serikat. Ia juga direktur Life Paths Research Center dan pendiri ResilienceCon. Risetnya tentang pemerkosaan sering jadi rujukan ilmuwan dan praktisi hukum.
Hamby: "Bagi pria, sejak pubertas, satu-satunya cara punya status sosial tinggi di antara rekan-rekan adalah aktif secara seksual. Sebaliknya, pria yang kelihatan kurang aktif seksual dianggap lemah."
Itulah yang oleh Hamby disebut toxic masculinity. Racun dunia.
Teori Hamby cocok dengan kasus Herry Wirawan. Pengelola di pondok pesantren di Cibiru, Bandung. Asli, ia mendominasi santriwati. Lengkap dengan pemerkosaan. Rutin lima tahun bergiliran. Sampai melahirkan 11 anak.
Yang mengherankan publik, kasus itu dilaporkan korban ke Polda Jawa Barat pada 18 Mei 2021. Beberapa hari kemudian, Herry jadi tersangka. Lantas, dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Bandung. Kemudian, perkara diadili di Pengadilan Negeri Bandung.
Hampir tujuh bulan kemudian, setelah sidang ke-6, pada pekan kedua Desember 2021, kasusnya meledak. Ambyar...
Apalagi, kasus sejenis di Depok, Jawa Barat, korban 10 santriwati, kini diusut polisi. Masyarakat heran. Kok, di Jawa Barat lagi? (*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: