Seleksi Presiden

Seleksi Presiden

Harian Disway - BARANG satu ini: presidential threshold (PT), tak pernah habis diperdebatkan. Sebelum pilpres, selalu ada pro dan kontra. Sampai dibawa ke Mahkamah Konstitusi. Begitu pilpres berakhir, langsung kembali jadi barang perdebatan.

Sekarang pun para penggugatnya sudah mendaftar ke MK. Menyongsong 2024. Mereka tak ingin ada PT atau syarat ambang batas suara parpol dalam mengajukan capres.

Yang menggugat juga tokoh besar. Mantan Panglima TNI Jenderal (purn) Gatot Nurmantyo dan mantan Menko Ekuin Rizal Ramli. Beberapa anggota DPD (Dewan Perwakilan Daerah) juga menggugat. Mereka semua menuntut PT dihapus. Titik.

Periode ini lebih seru. Amunisi kelompok penolak PT bertambah. Sebab, Ketua KPK Firli Bahuri ikut bicara. Menurutnya, PT hingga 20 persen berpotensi menimbulkan korupsi. Logikanya, PT melahirkan politik transaksional. Ia pun meminta PT 0 persen atau dihapus. Untuk alasan itu, benar juga KPK.

Lain cerita dengan partai-partai besar yang berusaha mati-matian mempertahankan PT di angka 20 persen seperti sekarang ini. Artinya, syarat sebuah parpol atau gabungan parpol untuk bisa mengajukan calon presiden harus memiliki 20 persen kursi di DPR.

Dengan kekuatan yang mereka miliki di DPR, PDIP dan Golkar tetap mempertahankan PT 20 persen. Dengan aturan itu, mereka bisa menyingkirkan capres dari partai kecil yang ingin maju sendiri. Akibatnya, dominasi partai besar di istana tetap terjaga.

Calon-calon yang jelas-jelas banyak peminatnya –hasil berbagai survei  mereka selalu di papan atas– seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, dan Ridwan Kamil pun bakal menyempit kesempatannya.

Ganjar, ia memang kader banteng moncong putih. Tapi, nada-nadanya, sinyal PDIP cenderung mendorong putri Megawati, Puan Maharani. Kalau berharap dari partai lain, Ganjar juga bakal kesulitan karena batasan PT.

Partai kecil atau medioker akan cenderung mengikuti arus besar. Kecenderungan selama ini, sebagian dari mereka memilih bergabung dengan koalisi partai besar. Lebih baik mendapat jatah kursi menteri yang lebih praktis daripada membangun koalisi sesama partai menengah dan kecil. Yah, selain sikap pragmatis, juga terbentur syarat tersebut.

Anies Baswedan pun bisa tersandung. Katakanlah, ia didukung PKS. Atau katakan plus Demokrat bila berpasangan dengan Agus Yudhoyono. Itu pun belum tentu dapat tiket karena syarat yang tinggi tersebut.

Begitu juga Ridwan Kamil. Begitu pula Gatot Nurmatyo. Begitu pun Rizal Ramli. Juga Mahfud MD.

Lain halnya kalau semua parpol punya tiket. Ganjar bisa maju dari parpol lain. Anies juga bisa dapat tiket dari satu parpol saja sudah jalan. Bahkan, Yusril Ihza Mahendra bisa maju dengan partainya sendiri, PBB.

Prancis yang juga menerapkan pemilihan presiden langsung tidak mengenal PT. Semua parpol bisa mencalonkan diri. Pilpres terakhir di sana 2017, ada 11 capres. Sebab, semua parpol bisa mengajukan calon. Parpol yang belum punya wakil di parlemen pun bisa mengajukan calon.

Emanuel Macron yang memenangi kontestan juga bukan calon yang diusung partai besar: Partai Konservatif atau Partai Sosialis. Anak muda tersebut, saat itu Macron berusia 39 tahun, terpilih karena secara personal mampu memikat rakyatnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: