Gelisah pada Ekosistem Pesisir

Gelisah pada Ekosistem Pesisir

Di balik gerak ikan-ikan menyusuri karang dan saling silang kayu jati, lukisan Camil Hady memiliki latar belakang kerinduan akan pantai dan suasana pesisir yang asri, jauh dalam ruang waktu kanak-kanak.

BIDANG datar biru dengan gelembung air, terumbu karang memantulkan warna cerah bebatuan. Papan kayu bersilang seperti menjadi rumah terbaik bagi ikan-ikan. 

Makhluk laut itu dalam diam seakan bergerak. Bagian tengah tubuhnya cekung dan ekornya menjuntai. Menandakan berenang dengan gemulai, atau mencoba mencuri perhatian si betina.

Tak sekadar berbicara tentang keindahan laut, menyangkut terumbu dan ikan-ikan melalui visual, karya Camil adalah sebentuk jejak atau ingatan masa kanak-kanak. “Zaman ketika suasana sepanjang pesisir Pantai Utara masih asri. Cermin masa kecil yang tak pernah kembali,” ungkapnya.

Camil lahir dan besar di Dusun Sidomukti, Kecamatan Brondong, Lamongan. Dusun tersebut terletak di tepi Pantai Utara Jawa. Karakter pantainya penuh dengan batu karang.

Ia masih ingat betul tentang masa kecilnya dulu. Bermain air laut, berdiri di atas karang-karang tajam dan licin. Di sela ikan-ikan kecil atau rajungan yang berkeliaran, bersembunyi di lubang-lubang karang. Jika tak hati-hati, kaki bisa terpeleset atau bagian runcingnya membuat telapak kaki tergores.

Meski perih, pengalaman itu adalah bagian paling menyenangkan. Tersimpan dalam memori masa kecilnya. Sangat jelas. “Ikan-ikan riuh berenang di pantai, bahkan saat surut. Atau menikmati sepanjang pesisir dan menyaksikan matahari terbenam,” kenangnya.

Baginya, kenangan itu tak pernah kembali. Kini, wajah pesisir Paciran hingga Brondong, Lamongan, telah jauh berubah. Menjadi lingkungan industrial, kawasan wisata atau pelabuhan penyeberangan kapal laut. 

Pembangunan yang massif merusak kelestarian alam pesisir. Belum lagi kesadaran masyarakat tentang ekosistem laut masih rendah. “Hingga kini masih banyak masyarakat yang membuang sampah ke laut. Tak terbayang bagaimana kerusakannya,” keluh pria 42 tahun itu.

Masih belum cukup, para nelayan curang menggunakan pukat harimau untuk memperoleh ikan. Akibatnya, tak jarang banyak bangkai ikan yang mengambang hingga ke tepi. Terumbu karang dalam laut yang menjadi habitat ikan jadi rusak.

Itulah yang membuat Camil berinisiatif menuangkannya dalam kanvas. Seperti karya-karya berseri Merangkai Harapan 1-5 miliknya. Lukisannya bernuansa lembut. Ikan-ikan digambarkan berenang dengan kayu-kayu yang melintang atau mengitari objeknya. Terdapat pula beberapa lukisan yang menempatkan terumbu karang tumbuh di atas kayu tersebut.

“Kayu-kayu itu adalah kayu jati. Maknanya sebagai jati diri. Saya berharap laut menemukan jati dirinya, kembali pada keasrian dan kondisi alaminya,” ujar ayah tiga anak tersebut.

Selain bermakna sebagai jati diri, pohon atau kayu jati lekat pula dengan latar belakang kondisi lingkungan Camil. Beberapa kilometer ke arah timur Lamongan, di daerah Panceng, Gresik, terdapat hutan jati. Di kawasan makam Sunan Drajat, Lamongan, ke arah Selatan juga terdapat pohon-pohon jati yang berdiri.

Baik pesisir maupun kawasan jati secara perlahan tergusur oleh pembangunan yang massif. Meski berdampak pada pertumbuhan ekonomi warga, namun dampak buruknya, lingkungan menjadi tercemar. “Jadi di balik lukisan saya terselip kritik terhadap massifnya pembangunan. Bahwa sebaiknya pihak terkait memperhatikan pula kelestarian lingkungan,” ungkapnya.

Pencapaian Camil hingga membuahkan karya yang khas butuh perjalanan panjang. Ia dibesarkan dalam keluarga petani di Brondong. Selepas SMA, ia sempat berkuliah di ISI Yogyakarta untuk mendalami seni rupa. Namun tak sampai tuntas karena kekurangan biaya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: