Pendekar Muktamar
Tepat pukul 23.00 WIB, keponakan KH A. Mustofa Bisri (Gus Mus) berangkat ke arena muktamar. Untuk mengikuti agenda penetapan rais aam dan pemilihan ketua umum. Gus Ipul tetap tinggal di hotel.
Sebelum berangkat itu, Gus Ipul sempat menyampaikan ada yang ingin menemuinya. Yang menawarkan kemungkinan Kiai Said untuk mengundurkan diri dari pencalonan. Untuk memuluskan pencalonan Gus Yahya.
Ketika usul itu disampaikan, Gus Yahya bergeming. Ia tetap ingin ada persaingan dalam muktamar. Ia minta Gus Ipul tak usah meladeni upaya menghambat pencalonan Kiai Said. ”Ndak usah, Pul. Biar berjalan apa adanya,” katanya tegas.
Meski hingga pagi hari, akhirnya pemilihan ketua umum PBNU tetap berlangsung. Dua tahap. Tahap pencalonan dan tahap pemilihan. Semua sudah tahu, walau selisih lebih dari 100 suara di tahap pencalonan, Kiai Said tetap bersedia pemilihan terus.
Ternyata, di ajang pemilihan itulah, dua pemimpin NU tersebut memberikan pelajaran demokrasi kepada bangsa ini. Bahwa persaingan tidak harus saling menjatuhkan. Bahwa persaingan merupakan hal biasa. Bukan tabu.
Yahya yang lebih muda tetap cium tangan Kiai Said jelang pemilihan. Sebab, ia dianggap sebagai gurunya. Itu adab NU. Itu akhlak pesantren. Mereka juga saling memuji ketika Gus Yahya resmi terpilih. Tidak ada dendam dan saling menjatuhkan.
Pelajaran berdemokrasi yang luar biasa. Yang belum terwujud di partai politik kita. Lembaga yang memang didirikan sebagai pilar demokrasi. Malah sebaliknya, mereka sering ricuh ketika suksesi kepemimpinan. Sehingga tak ada regenerasi.
NU lain lagi. Hampir setiap muktamar selalu berlangsung dinamis. Bahkan, banyak yang cemas. Namun, selalu saja konflik alias gegeran dalam NU berakhir dengan gelak tawa alias ger-ger-an. Tak sampai muncul NU tandingan.
Sebut saja Muktamar Situbondo, 1984. Saat tampilnya generasi baru zaman itu. Yang dikomandani KH Abdurrahman Wahid yang akrab dipanggil Gus Dur. Bersaing dengan kelompok politik yang dipandegani KH Idham Chalid.
Muktamar NU di Yogyakarta, 1989, juga demikian. Diwarnai dengan mufaraqah-nya –keluar dari barisan– KH As’ad Syamsul Arifin. Tokoh sepuh NU yang sangat dihormati. Yang terjadi, Gus Dur malah terpilih sebagai Ketum PBNU secara aklamasi.
Muktamar yang mengharukan adalah Muktamar Cipasung, 1994. Itu gara-gara Presiden Soeharto intervensi untuk menyingkirkan Gus Dur. Tak berhasil. Boneka Soeharto, Abu Hasan, berusaha membuat PBNU tandingan. Tapi tak laku.
NU merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia –bahkan di dunia– pasti banyak pihak yang berkepentingan. Banyak pihak yang ingin menjadikan NU sebagai aset politik. Dengan segala cara. Semua itulah yang menentukan skala dinamika di setiap muktamar.
Muktamar Lampung juga tidak steril dengan itu. Terbukti, ada mobilisasi karangan bunga ucapan selamat kemenangan kepada salah seorang kandidat sebelum pemilihan berlangsung. Sambil menyebar informasi bahwa salah seorang kandidat akan menang tipis.
Tapi, NU adalah NU. Ia tidak gampang menjadi alat orang maupun kelompok lain. NU akan tetap menjadi organisasi yang selalu menjadi penengah dan menjaga umatnya dalam beragama dengan ramah. Juga, selalu menjadi penjaga NKRI.
Dengan gayanya yang lentur, dengan nuansanya yang terbuka dan demokratis, dengan kecerdasan kulturalnya, membuat ormas itu tetap besar di usianya yang seabad. Bahkan, bisa menjadi lebih besar lagi.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: